Soak

Ketika membaca sebuah berita di lembaran "Kabar Jabar" koran Republika terbitan 26 Desember 2012 halaman 26, saya dihentikan oleh sepotong kata: rutilahu. Saya balik ke awal. Ternyata "rutilahu" itu akronim dari rumah tidak layak huni.

Saya tidak tahu apakah faktor "Jabar" yang memicu "kreativitas" penciptaan akronim baru ini. Maklum, saya terkesima melihat suburnya akronim di masyarakat Priangan. Dimulai dari akronim comro dan misro. Comro (oncom di jero atau oncom di dalam) adalah gorengan dari singkong parut berisi oncom, sedangkan misro (amis di jero atau manis di dalam) berisi gula aren.

Ada colenak (dicocol enak), yakni tape singkong bakar yang disantap dengan cocolan gula merah. Cilok (aci dicolok), tepung tapioka goreng yang disajikan pada tusukan bambu atau lidi seperti sate. Cireng (aci digoreng). Kombinasi cireng dan cilok menghasilkan cimol (aci digemol, aci yang dibentuk bulat).
Ada Cimol yang lain. Dahulu, di Jalan Cibadak, Bandung, banyak pedagang kaki lima khusus pakaian bekas. Muncullah julukan Cibadak Mall (dibaca Cibadak Mol, jadinya Cimol). Meski lokasinya sudah dipindahkan ke Gedebage, Cimol sebagai nama tidak luntur.
Di Jakarta, sampai 2007, ada pertokoan Sogo di Plaza Indonesia yang mengilhami julukan Sogo Jongkok bagi pedagang pakaian kaki lima sebab pembelinya terpaksa jongkok di muka lapak dagangan. Andai julukan ini jatuh ke tangan orang Bandung, saya tak yakin ia bakal selamat dari cinta mereka yang berlebihan kepada akronim.
Selain itu, ada batagor (bakso tahu goreng) dan gehu (tauge di dalam tahu). Di depan sebuah rumah dekat Jalan Gatot Subroto, Bandung, ada tulisan batras. Rupanya, itu pun akronim dari pengobatan tradisional.
Di Jawa Tengah, ada nasgithel (panas, legi, kenthel), yakni teh panas, manis, kental; dan bangjo (abang-ijo atau merah-hijau) untuk lampu lalu lintas. Entah mengapa, tampaknya lampu kuning tak masuk hitungan. Di Makassar, ada bentor, akronim dari becak-motor (tambahan "n" di tengah akronim tampaknya hanya supaya enak diucapkan), yakni sepeda motor yang kepalanya dipancung, lalu dilas dengan becak. Mirip helicak (helikopter becak?) di Jakarta tempo dulu.
Kecuali rutilahu dan bangjo, kasus-kasus akronim di atas merupakan kreativitas spontan rakyat kecil demi keringkasan, juga untuk kemudahan lisan mengucapkan dan konsumen mengingat sebab konteksnya komersial.
Sedangkan rutilahu, alutsista, curanmor, menparekraf, dan lain-lain keluaran lembaga-lembaga negara, dan disponsori media massa, sebaiknya tak dipakai, sebagai pedoman bagi masyarakat. Produksi dan akumulasi akronim formal oleh instansi pemerintah, terutama kepolisian dan militer, mengacaukan sistem kata. Sering kali, kata-kata yang diringkus di dalamnya sulit diurai dan dilacak oleh kita sekarang ini, apalagi generasi masa depan.
Lantas, apa itu soak, yang jadi judul tulisan ini? Kata serapan dari bahasa Belanda, zwak, yang artinya lemah? Oh, bukan. Itu akronim juga. Kepanjangannya "Soal Akronim". Maaf, lupa menjelaskan.

Ada colenak (dicocol enak), yakni tape singkong bakar yang disantap dengan cocolan gula merah. Cilok (aci dicolok), tepung tapioka goreng yang disajikan pada tusukan bambu atau lidi seperti sate. Cireng (aci digoreng). Kombinasi cireng dan cilok menghasilkan cimol (aci digemol, aci yang dibentuk bulat).

Ada Cimol yang lain. Dahulu, di Jalan Cibadak, Bandung, banyak pedagang kaki lima khusus pakaian bekas. Muncullah julukan Cibadak Mall (dibaca Cibadak Mol, jadinya Cimol). Meski lokasinya sudah dipindahkan ke Gedebage, Cimol sebagai nama tidak luntur.

Di Jakarta, sampai 2007, ada pertokoan Sogo di Plaza Indonesia yang mengilhami julukan Sogo Jongkok bagi pedagang pakaian kaki lima sebab pembelinya terpaksa jongkok di muka lapak dagangan. Andai julukan ini jatuh ke tangan orang Bandung, saya tak yakin ia bakal selamat dari cinta mereka yang berlebihan kepada akronim.
Selain itu, ada batagor (bakso tahu goreng) dan gehu (tauge di dalam tahu). Di depan sebuah rumah dekat Jalan Gatot Subroto, Bandung, ada tulisan batras. Rupanya, itu pun akronim dari pengobatan tradisional.

Di Jawa Tengah, ada nasgithel (panas, legi, kenthel), yakni teh panas, manis, kental; dan bangjo (abang-ijo atau merah-hijau) untuk lampu lalu lintas. Entah mengapa, tampaknya lampu kuning tak masuk hitungan. Di Makassar, ada bentor, akronim dari becak-motor (tambahan "n" di tengah akronim tampaknya hanya supaya enak diucapkan), yakni sepeda motor yang kepalanya dipancung, lalu dilas dengan becak. Mirip helicak (helikopter becak?) di Jakarta tempo dulu.

Kecuali rutilahu dan bangjo, kasus-kasus akronim di atas merupakan kreativitas spontan rakyat kecil demi keringkasan, juga untuk kemudahan lisan mengucapkan dan konsumen mengingat sebab konteksnya komersial.

Sedangkan rutilahu, alutsista, curanmor, menparekraf, dan lain-lain keluaran lembaga-lembaga negara, dan disponsori media massa, sebaiknya tak dipakai, sebagai pedoman bagi masyarakat. Produksi dan akumulasi akronim formal oleh instansi pemerintah, terutama kepolisian dan militer, mengacaukan sistem kata. Sering kali, kata-kata yang diringkus di dalamnya sulit diurai dan dilacak oleh kita sekarang ini, apalagi generasi masa depan.

Lantas, apa itu soak, yang jadi judul tulisan ini? Kata serapan dari bahasa Belanda, zwak, yang artinya lemah? Oh, bukan. Itu akronim juga. Kepanjangannya "Soal Akronim". Maaf, lupa menjelaskan.