Sapere Aude, Menulis Itu Mudah

Menulis membutuhkan keberanian karena tulisan harus membawa pencerahan. Berani menyatakan pendapat meski mungkin berseberangan dengan arus utama. Newtonian, Cartesian, Marxian, Chayanovian, hingga Geertzian terus mengalirkan pencerahan yang bahkan mendobrak pendapat arus utama di masa kegelapan. Al Farabi, Ibn Arabi, dan Ibn Khaldun juga mencatatkan rumusan sebagai dasar perkembangan pengetahuan.

Apa itu menulis? Menulis adalah sebuah aktivitas yang kompleks, bukan hanya sekedar mengguratkan kalimat-kalimat, tetapi lebih daripada itu. Menulis adalah proses menuangkan pikiran dan menyampaikannnya kepada khalayak. Ide yang sudah tertuang dalam tulisan, kelak memiliki kekuatan untuk menembus ruang dan waktu sehingga keberadaan ide atau gagasan tersebut akan abadi. Lain kata, proses menulis adalah satu upaya untuk mewariskan dan meneruskan ide atau gagasan kepada generasi selanjutnya agar ide tersebut terpelihara dan tetap “hidup”.

Siapa saja yang bisa menulis? Siapa pun yang bisa menulis asalkan dia banyak membaca dan berpikir. Tidak harus orang yang bergelut dengan dunia akademik yang bisa menulis. Penulis tidak selalu mereka yang telah memiliki gelar universiter atau kependidikan, tetapi seorang penulis dinilai atas kompetensinya terhadap persoalan dan kedalaman menekuni bidang tertentu.

Mengapa menulis? Seseorang tentunya memiliki alasan-alasan tersendiri dalam menulis. Alasan dan motivasi yang mendorong seseorang untuk menulis tentunya berbeda-beda. Namun, mereka yang belum terdorong atau tergerak untuk menulis, seringkali bertanya, “Mengapa saya harus menulis? Untuk apa?” Pertanyaan semacam itu wajar terlontar. Ada baiknya mengetahui terlebih dahulu hal-hal positif yang bisa didapatkan akibat menulis. 

Yang pertama adalah agar pemikiran dapat dipahami oleh orang lain. Ketika seseorang berpikir, orang lain tentu tidak mengetahui apa yang dia pikirkan. Dengan menulis, gagasan dan keinginannya dapat dibaca oleh orang lain dan kemudian dipahami. Yang kedua adalah adanya perubahan. Sebuah tulisan yang kritis dan menarik akan mendapatkan perhatian pembaca dan khalayak. Apabila tulisan tersebut merupakan sebuah kritik atas sebuah peristiwa atau kondisi tertentu, sekaligus tulisan tersebut menawarkan suatu solusi, sangat mungkin perubahan dapat terjadi akibat tulisan tersebut. Yang ketiga adalah iklim intelektual selalu berkembang. Menulis akan memungkinkan terjadi aktivitas selanjutnya yaitu diskusi. Tulisan yang menarik dan kritis mampu memancing diskusi yang akan mendorong terciptanya iklim intelektual. Yang keempat adalah persoalan dapat terdiskusikan secara sejajar. Dalam relasi lisan, pasti ada hambatan psikis ketika seseorang yang inferior berhadapan dengan yang superior. Kebenaran bisa muncul dari orang biasa dan kurang diperhitungkan posisinya. Jadi, menulis berarti membongkar hambatan-hambatan penyampaian ide yang muncul jika bersemuka.

Apa kelebihan bahasa tulis dibandingkan dengan bahasa lisan? Bagi sebagian besar orang, menulis dirasa jauh lebih sulit dibandingkan dengan bicara. Oleh karena itu, ada implikasi logis yang membuat bahasa tulis memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan bahasa lisan, antara lain: Pertama, bahasa tulis bisa menembus ruang dan waktu, tidak seperti bahasa lisan yang begitu terlontar tidak meninggalkan jejak. Kedua, bahasa tulis bisa dibaca kapan pun dan di mana pun sehingga tidak mudah dilupakan. Ketiga, bahasa tulis memberikan kesempatan kepada para pembacanya untuk mengambil jarak dan merefleksikan masalah yang dibahas dalam tulisan tersebut.

Setiap kita adalah pencerita. Menjadi penulis adalah pilihan luar biasa: cerdas, kreatif, interpretatif, dinamis dan mampu mempengaruhi opini dan bahkan prinsip hidup pembacanya. Karena begitu luar biasa, tentu tidak begitu banyak orang yang bisa begitu. Bedanya yang luar biasa dengan biasa tentu saja, salah satunya, adalah kesedikitannya itu. Ini sama pula dengan pilihan “menjadi” lain-lainnya yang sedikit itu tadi.

Setidaknya, ada 3 “kelebihan” menjadi penulis: Pertama, mampu berpikir “tidak biasa”. Setiap penulis tentu dituntut untuk mengetahui lebih banyak, lebih luas dan lebih dalam tentang ide dan tema yang ditulisnya. Otomatis ia membutuhkan perluasan pengetahuannya, melalui bacaan, pengalaman, hingga diskusi/sharing.

Kedua, mampu berpikir logis dan sistematis. Tulisan yang baik bukanlah tulisan yang njelimet, memusingkan kepala pembacanya. Tetapi tulisan yang terang, teratur, sistematis, dan logis, sekalipun disajikan dengan teknik apa pun. Prinsip membangun sistematika logis dan harmonis merupakan tuntutan sebuah tulisan yang baik. Karenanya, penulis yang baik pastilah memiliki kemampuan berpikir logis dan sistematis pula agar tulisannya juga menjadi logis dan sistematis. Tidak mungkin cara berpikirnya “kacau”, lantas tulisannya sistematis logis.

Ketiga, mampu menciptakan interpretasi (penafsiran). Tentu saja subyektivitas penulis akan mempengaruhi tulisannya dan itulah yang melahirkan tafsir-tafsir baru terhadap ide dan tema yang ditulisinya. Tafsir-tafsir baru itu tentunya akan diterima atau ditolak oleh pembacanya. Bagi pembaca yang sepaham dengan tafsir penulis, ia bahkan akan mengambilnya, menerapkannya sebagai prinsip hidupnya. Penulis, dengan demikian menjadi inspirator, pengubah hidup pembacanya. Dan ini adalah dedikasi ilmu yang luar biasa. Amal dan manfaatnya akan merambat terus.

Kemudian, apa manfaat menulis? Dalam hal ini paling tidak ada dua manfaat utama yakni: Secara psiko-sosial, dapat menyuarakan aspirasi yang menggugah perubahan ke arah yang lebih baik. Mampu mendorong terjadinya perubahan atau perbaikan di masyarakat. Dan secara ekonomis, penulis yang telah diakui bisa mendapatkan nafkah dari kegiatan menulis. Honorarium yang diberikan oleh koran, majalah, atau media cetak kian sebanding dengan bobot tulisan sebagai karya intelektual.  Termasuk pula di dalamnya adalah hadiah-hadiah dari lomba kepenulisan baik berupa uang, barang, maupun yang lainnya membuat dengan menulis memberikan manfaat materiil maupun non materiil (pengakuan, penghargaan, kepuasan diri) kepada penulis.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, yang tampaknya masih terus menunggu munculnya-meminjam nama atlet Indonesia yang sudah pro dan terkenal-Yayukian dan Bambangian? Siapakah kiranya Indonesia asli yang secara sapere aude berani menyatakan pendapatnya, untuk bahkan menembus batas kanal intelektual? Inilah spirit yang dibutuhkan Indonesia saat ini, membangun keberanian baru yang membawa pencerahan untuk masyarakat. Tentu saja, untuk menjadi Bambangian dan Yayukian tadi membutuhkan proses yang panjang, disertai jatuh bangun, dan bukan tidak mungkin frustasi. Ide mampet, tulisan berhenti di tengah jalan, dan layar komputer masih kosong, itu biasa.

Pintu masuk untuk menulis dan pencerahan adalah dengan membaca realitas dan teks dengan mata, telinga, dan hati dengan kritis. Ide-ide segar dilatih panca indra dengan menghubungkan kata tanya, “Mengapa begini? Mengapa begitu? Bagaimana seharusnya? Bagaimana kenyataannya? Lalu solusi apa yang bisa ditawarkan?” Ya, inilah titik masuk baru menuju penemuan dan eksplorasi pengetahuan, yang mesti tak jemu dan terus diramu untuk memberi jejak-jejak keberhasilan pencerahan dan revolusi ilmu pengetahuan.

Ide adalah cikal bakal sebuah tulisan. Tanpa ide atau gagasan, seseorang tidak akan dapat menulis. Oleh karena itu, ide atau gagasan merupakan benih sebuah tulisan. Ide yang menarik mampu menjadi sebuah tulisan yang menarik, tetapi tidak selalu terjadi demikian, tergantung penulis mengolah ide atau gagasannya tersebut.

Bagaimana menemukan ide atau gagasan? Ide didapat dari mendengar, melihat, membaca dan melalui pengalaman diri dan orang lain. Ide tidak datang dengan sendirinya, perlu sikap pro-aktif dan kritis dalam menanggapi realitas yang didengar, dilihat maupun dibaca. Ide juga dapat ditemukan melalui kegiatan-kegiatan diskusi. Tidak harus berupa diskusi akademis, tetapi diskusi-diskusi ringan pun mampu memunculkan ide atau gagasan, tergantung seberapa peka diri kira menanggapi persoalan.

Sejumlah paragraf pembuka artikel yang umumnya muncul di surat kabar dapat menguak proses berpikir seperti apa yang muncul pertama kali. Membaca pemberitaan koran secara kreatif mendorong lebih jauh untuk menolak, menyetujui, atau membandingkan dengan berbagai kasus dan ide yang pernah ada di masyarakat. Umumnya di dalam paragraf awal tersebut tercantum secara eksplisit sumber ide yang memunculkan gagasan tanggapan lebih jauh.

Bagaimana merumuskan ide yang menarik dan kritis? Agar tahu ide yang akan kita kembangkan menjadi tulisan yang menarik, ada baiknya kita menemukan pembanding terlebih dahulu. Yang dimaksud pembanding adalah karya-karya lain yang pernah ada. Ide atau gagasan yang sama perlu dicermati perbedaan sudut pandang, perspektif ataupun argumentasinya. Dengan melakukan perbandingan, kita bisa mengolah ide menjadi lebih menarik dan lain daripada yang lain. 

Satu hal yang perlu dicatat, bahwa melalui menulis, benih-benih multikulturalisme akan bertebar. Jika pembaca tak setuju, silahkan tanggapi dengan tulisan pula. Dari siklus ini, tulisan-tulisan akan menjadi alat untuk memahami dan memaknai perbedaan. Selamat menulis, dan Sapere Aude! Mari buka keran budaya literasi untuk melampaui budaya oral kita.