Peranan Guru atau Konselor Terhadap Pendidikan Seks pada Peserta Didik

Pendidikan menyangkut banyak unsur yang saling terkait yakni orangtua, guru/konselor, siswa, sekolah dan kurikulum sebagai suatu standar operasioanal pembelajaran sebuah pendidikan itu berlangsung.

Dunia pendidikan baru-baru ini dikejutkan dengan peristiwa pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Hal ini disusul dengan sederetan kasus serupa diberbagai wilayah di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Sukabumi, Cianjur dan daerah lain yang tidak sempat mengemuka. Peristiwa pelecehan seksual tersebut menjadi tamparan yang kuat bagi guru/konselor. Untuk mengantisipasi kasus pelecehan seksual tersebut maka perlu kiranya adanya pendidikan seksual di sekolah.

 

Di keluarga selayaknya orangtua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra putrinya dalam menjalani tahapan-tahapan perkembangan dari anak-anak hingga dewasa.  Tanggung jawab orangtua tidak hanya mencakup pada kebutuhan materi saja, tetapi sesungguhnya mencakup kepada seluruh aspek kehidupan anaknya, termasuk didalamnya aspek pendidikan seks, yang mana pendidikan seks dapat diberikan di sekolah.   Pemahaman dan pemilihan metode pendidikan seks yang tepat akan mengantarkan peserta didik  menjadi insan yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang terlarang dan berusaha keras untuk menghindari dari pelecehan seksual. Pendidikan seks sebaiknya dibingkai dengan nilai aklak mulia, karena pendidikan seks yang diinginkan adalah agar peserta didik mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawabnya dan menghindari dari perilaku seks bebas. Menyikapi fenomena ini pesrta didik kita harus dibentengi dengan norma-norma seksualitas yang benar yang dilandasi dengan nilai aklak mulia, budaya yang berlaku dimasyarakat yang tidak menyimpang dari nilai-nilai agama. Oleh sebab guru/konselor sangat perlu mengetahui apa itu pendidikan seks. Seberapa penting pendidikan seks diberikan bagi peserta didik. DR. Arief Rahman Hakim dari Lab School Jakarta mendifinisikan Pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat. Sedangkan menurut Muhammad Sa’id Mursi (2005) menyebutkan bahwa pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, karena pendidikan seks tidak hanya mencakup pada pertanyaan dan jawaban belaka. Contoh teladan, pembiasaan aklak yang baik, penghargaan terhadap anggota tubuh, menanamkan rasa malu bila aurat terlihat orang lain ataupun malu melihat aurat orang lain dan lain sebagainya juga termasuk pendidikan seks bagi anak-anak perlu ditanamkan dalam diri anak sejak dini, misalnya: memisahkan tempat tidur antara anak perempuan dengan laki-laki pada umur 10 tahun. Mengajarkan anak-anak  meminta ijin ketika memasuki kamar orangtuanya. 
Clara Kriswanto mengemukakan pendidikan seks berdasarkan usia sebagai berikut:

Di keluarga selayaknya orangtua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra putrinya dalam menjalani tahapan-tahapan perkembangan dari anak-anak hingga dewasa.  Tanggung jawab orangtua tidak hanya mencakup pada kebutuhan materi saja, tetapi sesungguhnya mencakup kepada seluruh aspek kehidupan anaknya, termasuk didalamnya aspek pendidikan seks, yang mana pendidikan seks dapat diberikan di sekolah.   Pemahaman dan pemilihan metode pendidikan seks yang tepat akan mengantarkan peserta didik  menjadi insan yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang terlarang dan berusaha keras untuk menghindari dari pelecehan seksual. Pendidikan seks sebaiknya dibingkai dengan nilai aklak mulia, karena pendidikan seks yang diinginkan adalah agar peserta didik mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawabnya dan menghindari dari perilaku seks bebas. Menyikapi fenomena ini pesrta didik kita harus dibentengi dengan norma-norma seksualitas yang benar yang dilandasi dengan nilai aklak mulia, budaya yang berlaku dimasyarakat yang tidak menyimpang dari nilai-nilai agama. Oleh sebab guru/konselor sangat perlu mengetahui apa itu pendidikan seks. Seberapa penting pendidikan seks diberikan bagi peserta didik. DR. Arief Rahman Hakim dari Lab School Jakarta mendifinisikan Pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat. Sedangkan menurut Muhammad Sa’id Mursi (2005) menyebutkan bahwa pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, karena pendidikan seks tidak hanya mencakup pada pertanyaan dan jawaban belaka. Contoh teladan, pembiasaan aklak yang baik, penghargaan terhadap anggota tubuh, menanamkan rasa malu bila aurat terlihat orang lain ataupun malu melihat aurat orang lain dan lain sebagainya juga termasuk pendidikan seks bagi anak-anak perlu ditanamkan dalam diri anak sejak dini, misalnya: memisahkan tempat tidur antara anak perempuan dengan laki-laki pada umur 10 tahun. Mengajarkan anak-anak  meminta ijin ketika memasuki kamar orangtuanya. Clara Kriswanto mengemukakan pendidikan seks berdasarkan usia sebagai berikut:

Usia 10 – 12 tahun:

Bantu anak memahami masa pubertas. Berikan penjelasan soal menstruasi bagi anak perempuan serta mimpi basah bagi anak laki-laki sebelum mereka mengalaminya. Hargai privasi anak. Dukungan anak untuk melakukan komunikasi terbuka. Tekankan kepada anak bahwa proses kematangan seksual setiap individu itu berbeda-beda. Bantu anak untuk memahami bahwa meskipun secara fisik ia sudah dewasa, aspek kognitif dan emosionalnya belum dewasa untuk berhubungan intim. Diskusi terbuka dengan anak tentang alat kontrasepsi. Katakan bahwa alat kontrasepsi berguna bagi pasangan suami istri untuk mengatur atau menjarangkan kelahiran. Diskusikan tentang perasaan emosional dan seksual.

Usia 13 – 15 tahun:

Ajarkan tentang nilai keluarga dan agama. Ungkapkan kepada anak kalau ada beragam cara untuk mengekspresikan cinta.  Diskusikan dengan anak tentang faktor-faktor yang harus dipertimbangkan tentang hubungan suami istri.

Usia 16-18 tahun:

Dukung anak untuk mengambil keputusan sambil memberi informasi berdasarkan apa seharusnya ia mengambil keputusan itu. Diskusikan dengan anak tentang perilaku seks yang tidak sehat dan illegal.

Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan panduan menghindari penyimpangan dalam perilaku seksual sejak dini. Masa remaja adalah masa yang sangat didominasi dengan masalah-masalah seks. Apabila remaja sudah terjatuh dalam kegiatan seks yang haram, maka akibatnya antara lain: Hilangnya harga diri bagi remaja. Perasaan berdosa yang mendalam yang terkadang berakibat menjadi lemah dan semakin jauh dariTuhan. Perasaan takut hamil. Lemahnya kepercayaan antara dua fihak. Penghinaan masyarakat terhadap remaja, juga pada keluarganya.

Mursi, (2007)  memberikan solusi sebagai berikut: Pertama, dengan meminimalkan hal-hal yang merangsang, mengekang ledakan-ledakan nafsu dan menguasainya. Kedua menjaga diri, hal ini merupakan bagian proses sebagai berikut: Memahami diri, dimana remaja memahami tentang jati dirinya, menyadari akan tugas dan tanggungjawab hidup, mengerti hubungan dirinya dengan lingkungannya. Kualitas aklak, menyadari batas-batas nilai, tugas masyarakat. Kesadaran beragama, perasaan iman dan taqwa dan merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Perasaan damai di rumah, terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami diantara sesama anggota keluarga. Pengawasan yang cerdas dari orangtua. Menghindari pergaulan bebas dan mencegah berduaan.

Agar anak tak sungkan berkomunikasi tentang seks, maka: 

Ubah cara berfikir, bahwa makna pendidikan seks adalah sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi didalamnya ada perkembangan manusia antara lain anatomi dan fisiologi organ tubuh terutama organ reproduksi, hubungan antar manusia (keluarga, teman, pacar dan perkawinan), kemampuan personal (termasuk di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan keputusan), perilaku seksual, kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi, pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan kekerasan seksual), serta budaya dan masyarakat (tentang jender, seksualitas dan agama).

Mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Misal saat mengajari “ini hidung” atau “ini mulut”, maka pada saat itulah dapat diajari “ini penis” atau “ini vulva atau vagina”. Manfaatkan “golden moment” misal saat sedang menonton teve yang sedang menayangkan kasus perkosaan, saat sedang melakukan aktivitas berdua dan lain-lain. Dengarkan apa yang diucapkan anak dengan sungguh-sungguh, pahami pikiran dan perasaan. Jangan menceramahi. Anak umunya tidak suka diceramahi. Karena pada saat menceramahi seseorang, biasanya menempatkan diri lebih tinggi darinya. Gunakan istilah yang tepat, sesuai dengan usianya. Misalnya saja kalau anak sudah beranjak remaja, maka gunakan bahasa gaul yang biasa digunakan remaja, sehingga anak tidak merasa sungkan menanggapi pembicaraan.

Dari uraian tentang pendidikan seks tersebut maka peranan guru atau konselor dalam memberikan layanan  terhadap peserta didik diharapkan mempunyai sikap:

  1. Sikap terbuka
    Keterbukaan dalam pemberian informasi layanan seputar reproduksi dan seksualitas remaja sangat penting. Ketertutupan atau pengalihan diskusi seputar isu yang sering dianggap tabu tersebut memungkinkan anak dan remaja untuk beralih ke sumber informasi yang belum tentu benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi ini memungkinkan anak dan remaja memiliki kepercayaan yang keliru, sering disebut sebagai mitos seksual, yang justru akan melahirkan risiko buruk baik di aspek fisik, psikis, maupun sosial.
    Kemampuan menampilkan diri ketika memberikan layanan sebagai guru atau konselor yang terbuka bisa diterjemahkan dengan penggunaan nama atau kata yang tidak memiliki makna yang bias dan sarat dengan kesalahpahaman. Cara lain adalah dengan tidak menutup diskusi sensitif apapun terkait seksualitas. Jika ada pertanyaan dengan jawaban yang belum dipahami oleh guru atau konselor, kejujuran untuk menunda jawaban kemudian menjanjikan jawaban di kesempatan lain adalah  jauh lebih baik. 
  2. Sikap dan tindakan non-judgemental
    Diskusi seputar isu reproduksi dan seksualitas sarat dengan nilai-nilai yang dianggap sensitif. Guru atau konselor diharapkan bersikap arif dan tidak mengedepankan nilai-nilai pribadi untuk menghakimi pendapat atau pengalaman anak atau remaja. Pengalaman remaja diarea seksualitas tidak bisa dipandang semata hanya dari kacamata hitam-putih, boleh -tidak boleh, baik-buruk. Maka guru atau konselor diharapkan meluaskan cakrawala berfikir untuk dapat memfasilitasi keragaman pengalaman dan pendapat remaja terkait seksualitas dan perkembangan reproduksinya.Guru atau konselor diharapkan dapat berupaya untuk tidak menggunakan teknik-teknik penyampaian layanan yang mengedepankan teknik menakut-nakuti (fear based techniques). Jika ada batasan moral atau etka yang ingin disampaikan, atau terkait dengan risiko-risiko yang akan dihadapi remaja, sampaikan hal tersebut dengan penjelasan informatif. Guru atau konselor dapat mengembangkan teknik fasilitasi untuk menguatkan kemampuan peserta didik mencari alternatif solusi dan konsekuensinya sebelum pengambilan keputusan.
  3. Karena dianggap sensitif, diskusi seputar seksualitas dan reproduksi seringkali berhenti dengan keheningan karena rasa tidak enak, malu bahkan tabu. Guru atau konselor harus mampu merespon situasi ini. Guru atau konselor membantu peserta didik dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tanpa tendensi penghakiman untuk mengurai lebih dalam pendapat atau pengalaman riil peserta didik. Selain itu guru atau konselor diharapkan mampu mendeteksi batasan diskusi. Guru atau konselor dapat menghargai batas-batas privasi peserta didik. Menghargai privasi remaja adalah bagian dari sikap kritis. Jika terjadi situasi demikian, guru atau konselor diharapkan dapat memfasilitasi diskusi di ruang lain yang dirasa nyaman bagi peserta didik.
  4. Pendekatan partisipatoris
    Pengalaman dan opini remaja seputar seksualitas, tubuh dan reproduksi adalah pengalaman khas masing-masing pribadi yang sangat kaya dan beragam. Keragaman ini adalah bahan uatama dalam pembelajaran pendidikan seks. Pendekatan partrisipatoris adalah pendekatan belajar yang mensyaratkan partisipasi aktif dari peserta didik. Dalam menyampaikan layanan guru atau konselor akan mengajak peserta didik berpartisipasi melalui metode yang manarik, seperti permainan, diskusi, dan lain lain. Membuka ruang bagi seluruh peserta didik untuk terlibat aktif dalam layanan adalah mutlak. Guru atau konselor tidak terjebak dalam logika “mengisi gelas kosong”, indoktrinasi dan membuka kemungkinan “penghakiman” bagi pengalaman atau opini tertentu. Maka, partisipasi haruslah menjadi salah satu ukuran penting dalam pemberian layanan tentang pendidkikan seks.