Pengembangan Guru Profesional Dalam Meningkatkan layanan Pendidikan Berkualitas

Keterlibatan Guru dalam organisasipendidikan merupakan sarana pengembangan dini secara profesional. Kebanyakan dari organisasi ini menerbitkan jurnal, buletin, atau basil-basil penelitian dan mengadakan seminar secara berkala. Guru profesional periu membaca lebih dari majalah yang diterbitkan oleh sekolah atau penyelenggara sekolah sendiri. Sekali lagi, penguasaan bahasa asing adalah mutlak terutama dalam era ketertinggalan seperti di negara kita saat ini. Seperti yang telah disebut di atas, jaringan Internet menawarkan berbagai peluang dan kesempatan bagi pembukaan jendela pengetahuan dan wawasan serta terjalinnya kerja sama profesional. Selain itu, kerja sama profesional ini juga meliputi hubungan dengan dunia perguruan tinggi dan kerja. Kemi traan semacam ini bisa membantu para guru untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka sendiri dan menyajikan bahan pelajaran yang lebih relevan bagi kebutu han siswa.

Etika. Setiap profesi mempunyai standar etika. Guru profesional secara konsisten melaksanakan nilai-nilai yang sesuai den gan korapetensi, pelayanan, dan kerja sama. Guru ,profesional menghargai setiap siswa sebagai manusia yang utuh dan pembelajar, menghargai perbedaan pada masing masing siswa (latar belakaiag sosio ekonomi, kepribadian, dan kemampuan.), dan memberikan kesempatan yang adil dan tepat bagi semuanya.

Tanggung jawab atau akuntabilitas. Dalam hal ini, pendidikan masih terbelakang dibandingkan dengan beberapa profesi lainnya. Dalam profesi kedokteran misalnya, seorang dokter yang telah terbukti tidak kompeten atau melanggar kode etik akan dikenai sanksi profesional dan bisa kehilangan ijin praktek sebagai dokter. Namun dalam pendidikan, sanksi terberat bagi seorang guru dengan kesalahan serupa mungkin hanya pemecatan dari sekolah yang bersangkutan. Guru tersebut tidak dikenai sanksi profesional dan akan tetap bisa menggunakan "ijin praktek" nya di tempat lain dengan korban-korban baru. Rendahnya gaji guru atau faktor lain apapun seharusnya tidak dijadikan alasan bahwa guru boleh melalaikan tanggung jawabnya dan bebas dari sanksi. Di sisi yang lain, seperti juga dikeluhkan oleh John Goodlad (1994) isu akuntabilitas telah dikerdilkan oleh praktek-praktek berbagai macam tes prestasi belajar yang diselenggarakan balk secara lokal, regional, maupun nasional. Penggunaan hasil tes semacam ini untuk mengevaluasi siswa, kinerja guru dan sekolah merupakan pendekatan akuntabilitas yang sempit dan menghambat proses perkembangan siswa sebagai manusia seutuhnya. Sebenarnya tidak ada salahnya dengan menggunakan tes-tes ini sebagai alat. Namun permasalahan dan penyelewengan banyak terjadi sebagai akibat dari kecenderungan mereduksi segala kekayaan, kekurangan, keberhasilan, dan kegagalan usaha manusia menjadi tidak lebih dari angka-angka belaka.  Memandang kegiatan mengajar sebagai suatu proses belajar adalah menerima konsep bahwa guru memasuki tahapan-tahapan transformasi. Fuller (1969) menggambarkan tahapan-tahapan ini mulai dari survival menuju penguasaan dan sampai pada memberi dampak yang positif (survival, mastery, dan impact). Pada ketiga tahap ini guru merasa makin peduli pada seberapa besar mereka mempengaruhi siswa mereka dalam proses belajar mengajar yang bermutu. Sepanjang tahapan-tahapan ini, guru meningkatkan metodologi, atau teknik-teknik dan pemahaman mereka atas siswa. Mereka membangun koleksi strategi instruksional. Proses yang berkelanjutan ini membutuhkan waktu untuk merefleksikan dan kesempatan untuk mengaplikasikan dan memperbaiki ketrampi lan dan keahlian guru. Di balik segala tantangan dan kesulitan yang menyertai, guru adalah tenaga kerja profesional. Untuk bisa memperbaiki mutu pendidikan sekolah dan memberdayakan guru sebagai pemimpin, kita perlu membina dan memandang pendidikan sebagai suatu profesi. Sanders dan Eberhart mengusulkan adanya model pengembangan sumber daya guru yang profesional dan berkesinambungan. Model ini mencakup tiga fase:
Fase 1, Persiapan dalam Pendidikan Guru: Program persiapan profesional membekali calon guru dengan landasan teori dan akademis sebelum memasuki karier sebagai pendidik.
Fase 2, Pemagangan: Caion guru menjalani masa magang sebelum mendapatkan sertifikat pendidik. Dalam masa ini, guru muda mempunyai kesempatan mencoba berbagai teknik pengajaran dan model. Fase ini berlanjut sampai dengan tahun pertama dan kedua guru tersebut mengajar di suatu sekolah. Pemberian sertifikat didasarkan pada evaluasi apakah pemagang sudah mempunyai landasan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.
Fase 3, Pendidikan Berkelanjutan: Fase ini berlangsung terus menerus tanpa ada akhirnya sepanjang karier seorang guru profesional.

Banyak guru memang sudah merasa menjalani ketiga fase ini atau setidaknya kedua fase yang pertama. Namun kebanyakan guru menjalani masing-masing fase secara lepas dan terpotong-potong. Belum ada banyak guru atau sekolah yang sudah menjalani program pengembangan profesional secara terencana dan berkesinambungan. Walaupun sudah menjalani masa magang, banyak guru muda merasa belum siap dan takut dalam menghadapi tantangan di dalam ruang kelas tanpa adanya bimbingan yang memadai dari guru yang lebih berpengalaman. Guru muda ini merasa seperti anak kelinci yang dilepas begitu di hutan belantara. Akibatnya tahap survival menuju mastery tidak bisa berjalan dengan lancar. Sebaliknya guru yang diharapkan "lebih berpengalaman" pun belum tentu bisa memberikan bimbingan yang sangat dibutuhkan karena berbagai alasan seperti kesibukan sendiri, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru senior tersebut, kekurangjelasan pemberian tugas bimbingan dari sekolah, dan lain-lain.

Ada banyak guru yang tidak menyelesaikan fase kedua dengan baik. Yang lebih memprihatinkan, ada jauh lebih banyak guru yang tidak pernah memasuki fase ketiga. Padahal dalam profesi apapun, pendidikan berkelanjutan adalah syarat mutlak bagi pengembangan diri. Fase ini lebih dari sekedar mengikuti seminar dan konperensi seperti yang sudah dilakukan beberapa guru. Loucks-Horsley dan. Sparks (1989) men gungkapkan bahwa program pengembangan guru profesional meliputi berbagai macam kegiatan seperti:

  • Aktivitas yang bermanfaat Untuk masing-masing guru (menghadiri seminar, membaca jurnal dan buku, mengikuti kursus tambahan);
  • Observasi dan masukan mengenai kinerja (saling mem bimbing dengan sesama guru atau peer coaching, super visi klinis);
  • Pendidikan formal (kuliah lanjutan);
  • Keterlibatan dalam proses peningkatan dan pengembangan (keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam proyek-proyek peningkatan mutu sekolah dan lain-lain);
  • Refleksi berkelanjutan untuk membuat pengajaran lebih efektif (mengadakan penelitian kelas).

PENUTUP
Pengembangan sumber daya guru secara profesional akan menghasilkan proses belajar mengajar yang lebih efektif. Pengembangan sumber daya guru seharusnya dijalin dalam kegiatan sehari-hari dalam kehidupan sekolah dan menjadi bagian penting dari budaya sekolah yang akan memperkaya kehidupan setiap orang dalam komunitas belajar-mengajar.
Belajar-Mengajar adalah suatu proses yang berdampak timbal balik-pengajar dan pembelajar sama-sama merasakan dampaknya. Seperti yang dikemukakan Anita Lie (2004), "belajar dan mengajar adalah kegiatan yang selalu saling berkaitan. Seorang belajar dengan cara mengajar; dia tidak bisa mengajar jika tidak belajar terus." Guru profesional belajar terus sambil berjuang untuk mencapai keunggulan. Pengembangan sumber daya guru adalah suatu proses, bukan peristiwa.

Penulis : Mulyanta

DAFTAR PUSTAKA :
Anita Lie. 2004. Cooperative Learning: Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas.
Kartowagiran, Badrun. 2011. Kinerja Guru Profesional (Guru Pasca Sertifikasi. Cakrawala Pendidikan, 30 (3): 463-473
Oranay, A. Napo. "Kepeloporan Pendidikan Transformasi dan modernisasi Kegiatan Sinergi 2 (Maret 1996): 20-29
Sanders, Ted & Eberhart, Nancy. "Teaching van Walling (ed). Teachers as Leaders: Profesional Development of Teachers. Kappa Educational Foundation, 1994