-
Telp Kantor
0274 517327 -
Surat Elektronik
[email protected] -
Alamat Kantor
Jl. Kenari No.2, Semaki
Telp Kantor
0274 517327Surat Elektronik
[email protected]Alamat Kantor
Jl. Kenari No.2, Semaki
Dari empat sudut pandang tersebut, semakin memperjelas bahwa politik adalah bagian dari suatu proses interaksi sosial yang bisa dinilai baik atau buruk (etika), produk dan hasilnya bisa berupa kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh komponen di dalamnya, dan dampaknya bisa menimbulkan konflik ataupun kerjasama dengan segala akibat yang ditimbulkannya.
Dengan demikian, politik tidak semata-mata proses perebutan kekuasaan apalagi dilakukan dengan segala cara. Dengan kata lain, politik itu suci adapun yang menjadikannya kotor lagi hina bisa jadi niatan dan cara yang dilakukan oleh pelakunya. Ibarat sebuah pedang, tentu kebaikan atau keburukannya ada pada tuannya. Untuk tujuan apa pedang itu dipakai dan dengan cara bagaimana pedang itu digunakan.
Terlepas dari apapun sudut pandang dan pendekatan yang dipakai, memahami politik tidak bisa dipisahkan dari ukuran baik atau buruk, bahkan benar atau salah. Sebagai suatu wacana maupun praktek, politik tidak akan terlepas dari etika apalagi terkait dengan dua hal di atas, yaitu niat (tujuan) dan cara yang digunakan pelakunya. Inilah pentingnya etika dalam berpolitik demikian pula seharusnya dalam setiap kajian pendidikan politik secara khusus maupun pendidikan pada umumnya.
Pendidikan politik yang berfungsi edukasi (pembelajaran) secara ideal adalah proses transformasi nilai dan ilmu pengetahuan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sifatnya umum dan terbuka, dapat terjadi kapanpun, di segala bidang maupun sektor kehidupan manusia. Biasanya berlangsung pada lembaga formal dengan tujuan utama pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai yang diyakini untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman, nyaman, adil dan makmur.
Kenyataannya, bentuk pendidikan ini hanya menekankan unsur teoritis dan konseptual, juga lebih mengedepankan pada aspek kognitif atau rasional. Nilai-nilai etika dan moralitas belum diberikan secara utuh dan terpadu pada ilmu pengetahuan yang ada. Akibatnya, banyak orang yang ahli dan profesional di bidang politik, hukum, pendidikan, bahkan agama namun juga pintar dalam memanipulasi aturan atau nekat dalam melakukan pelanggaran kalau sudah terkait dengan kepentingan (kekuasaan).
Pada tataran praktis, pendidikan politik bentuk ini tereduksi hanya sebagai tata cara suksesi kepemimpinan (nasional atau lokal) dalam makna yang sangat pragmatis. Pelaksanannya lebih dominan pada pemenuhan hak (pilih) individu dibanding kewajiban dan tanggung jawab sosial maupun spiritual. Politik tidak lebih dari sekedar bagaimana ambisi pribadi dapat tersalurkan. Dalam bahasa yang sarkatis, politisi justru orang yang pintar atau ahli dalam mengakali atau memanipulasi tata aturan untuk kepentingannya. Tata aturan yang dimaksud bisa dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan, agama, atau politik itu sendiri.
Adapun pendidikan politik yang berfungsi kaderisasi lebih mengedepankan proses sosialisasi dan internalisasi berupa penyampaian materi tentang visi, misi, penjabaran, dan aktualisasi dari kekuatan politik tertentu baik berupa partai politik, golongan, bahkan perseorangan untuk mempengaruhi, mengambil simpati, sampai pada tingkat militansi agar menjadi bagian darinya. Orientasi dan Muaranya adalah untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan (kepentingannya) terutama dalam hal material. Bentuk kegiatannya berupa kampanye (politik) yang sifatnya bisa secara tertutup (laten) atau terbuka (manifes) terutama pada waktu-waktu tertentu menjelang Pemilu atau suksesi kepemimpinan dalam suatu lembaga.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Dannis Kavang (1998: 45), bahwa bentuk dan proses kampanye politik terbagi atas dua jenis, yaitu: (a) Bentuk dan proses yang bersifat laten atau tersembunyi di mana kegiatan atau aktivitasnya berlangsung dalam lembaga-lembaga sosial non politis seperti lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan keagamaan, bahkan lingkungan kerja maupun lingkungan sekolah atau kampus. (b) Bentuk dan proses yang bersifat terbuka di mana aktivitasnya berlangsung dalam lembaga politik tertentu (termasuk pemilu dan perangkat-perangkatnya). Kedua bentuk ini sangat mungkin menggunakan metode indoktrinasi melalui teknik manipulasi, retorika, propaganda dan turunannya, hingga pada teknik yang paling ekstrim yaitu cuci otak http://id.wikipedia.org/wiki/Indoktrinasi (diunduh pada tanggal 6 Mei 2014).
Beberapa dampak negatif sebagai akibat proses kaderisasi politik melalui metode indoktrinasi secara masif dan satu arah menurut Estu Miyarso (2009), yaitu:
Etika Ber(Pendidikan) Politik
Secara etimologis, Etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Dalam bahasa Latin, etika berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.
Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana dikutip Kamus Bahasa Indonesia on line, etika adalah: (1) Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut masyarakat.
Dari pengertian tersebut, semakin mempertegas betapa pentingnya etika ini bila diterapkan dalam kehidupan berpolitik maupun dalam kajian-kajian politik sebagai bagian dari proses pendidikan politik. Persoalannya, dari mana sumber etika yang akan diterapkan dan bagaimana penerapannya?
Sangat banyak literatur yang berkaitan dengan etika. Menurut hemat penulis, etika bisa bersumber dari kajian sosiologis maupun agama. Tulisan ini mencoba membahasnya dari perspektif agama (Islam).
Inti dari etika adalah nilai-nilai moralitas atau ahlak. Tolok ukurnya bisa benar atau salah, baik atau buruk. Kebenaran menurut agama sifatnya absolut sedangkan menurut selainnya sifatnya relatif atau kontekstual. Inilah perbedaan mendasar dari keduanya, yang mana jika salah mensikapi akan menjadi sumber konflik tersendiri.
Nilai kebenaran dari sumber manapun adalah konstan. Ia tidak memiliki yang lain kecuali lawannya. Artinya, kalau tidak benar berarti salah. Adapun kebaikan memiliki varian dan nilai interval yang mungkin berbeda, seperti; sangat baik, baik, kurang baik, tidak baik (buruk), hingga sangat tidak baik (sangat buruk). Namun demikian, kebaikan menurut agama pasti rujukannya dari kebenaran. Sesuatu yang benar pasti baik menurut agama.
Cara memilih sumber etika dan penilaian inilah yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam menjalankan roda kehidupannya termasuk dalam urusan politik. Seseorang yang selalu mengedepankan sumber etika dari agama (Islam) secara benar (menurut Al Quran dan Sunnah) serta ikhlas (jujur kepada Allah dan dirinya) pasti sikap dan perilakunya akan komit dan konsisten dalam situasi dan kondisi apapun termasuk untuk urusan politik.
Bagaimana dengan Agama Islam sendiri yang memiliki pemahaman bermacam-macam? Menurut hemat penulis, jawabannya bukan Islamnya yang salah tapi masalah ada pada pelakunya dan keliru memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan diridhai Allah sebagaimana Firman-Nya dalam Ayat Al Quran yang artinya:
"Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam." (terjemahan QS, Ali Imran: 19)
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagi kalian." (terjemahan QS, Al-Maidah: 3)
Secara logika saja makna sempurna adalah konstan bahkan mutlak sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan atau pengurangan dari selainnya apalagi bila dipahami dengan dasar keimanan. Kesempurnaan Islam meliputi segalanya baik nilai, tata aturan, bahkan hukum yang terkait dengan sendi-sendi kehidupan manusia bahkan jin, baik terkait dengan habluminAllah (ibadah), habluminnanas (interaksi sosial), maupun kaitannya dengan alam semesta sebab Islam itu sendiri Rahmatan Lil Alamin.
Tidak ada sesuatu perkara atau urusan apapun di alam semesta ini kecuali telah diatur atau dibahas dalam Islam. Jangankan urusan politik yang melibatkan banyak orang, urusan yang paling privasi sekalipun sudah ada kaidahnya dalam Islam. Semua itu akan terpulang untuk kebaikan, keselamatan, dan ketentraman manusia sendiri bila mau memahami dan mengimaninya.
Pada sisi lainnya, keimanan dalam perspektif Islam tidak hanya dimaknai sebagai suatu keyakinan dalam hati saja apalagi hanya sekedar ingat atau eling, tapi juga dalam ucapan dan tindakan. Atas dasar keimanan inilah seorang muslim melakukan berbagai ketaatan dan meninggalkan berbagai bentuk kemaksiatan di segala bidang kehidupannya termasuk urusan politik.
Politik dalam Islam dikenal dengan istilah bahasa Arab yaitu siyasah (tata cara atau strategi). Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) sebagaimana dikutip oleh Ruwaifi’ bin Sulaimi (2011) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik. Politik merupakan salah satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.
As-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah), dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum. Ada dua pihak yang saling terkait dalam as-siyasah asy-syar’iyyah, yaitu: 1) pihak pengatur atau penguasa (ulil amri) dan pihak yang diatur atau rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya ketaatan dari rakyat apalagi bermudah-mudah untuk mengkafirkannya. Maka dari itu, adanya gayung bersambut antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah merupakan keharusan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya." (terjemahan QS, An-Nisa: 59).
Demikian pula dalam hadist Rosulullah SAW.
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian; serta kalian melaknat mereka." (dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Beberapa kaidah singkat dalam penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah, antara lain:
Terlalu banyak literatur dari ulama-ulama ahli sunnah yang khusus membahas tentang politik dari sudut pandang syariat Islam untuk menjadi rujukan. Semoga yang sedikit dalam ruang yang sempit ini bisa bermanfaat untuk dipahami dan diamalkan.