-
Telp Kantor
0274 517327 -
Surat Elektronik
[email protected] -
Alamat Kantor
Jl. Kenari No.2, Semaki
Telp Kantor
0274 517327Surat Elektronik
[email protected]Alamat Kantor
Jl. Kenari No.2, SemakiHomeschooling; sebagai orangtua, terutama yang masih memilki anak usia sekolah, Parents tentu sudah sering istilah tersebut. Sebuah model pendidikan yang sering kali kita pahami sebagai model pendidikan alternatif di luar pendidikan konvensional.
Sayangnya, homeschooling masih sering dipahami dengan salah. Banyak yang beranggapan bahwa homeschooling adalah memindahkan pelajaran sekolah yang sesuai kurikulum ke dalam rumah. Kenyataannya, cakupan homeschooling lebih luas dari yang kita pahami atau bayangkan.
Pengertian Homeschooling
Homeschooling (HS) adalah model alternatif belajar selain di sekolah. Tak ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling. Selain homeschooling, ada istilah “home education”, atau “home-based learning” yang digunakan untuk maksud yang kurang lebih sama.
Dalam bahasa Indonesia, ada yang menggunakan istilah “sekolah rumah”. Salah satu pengertian umum homeschooling adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Pada homeschooling, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak; sementara pada sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah.
Walaupun orang tua menjadi penanggung jawab utama homeschooling, tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus dilakukan oleh orang tua. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, melibatkan anak-anak pada proses magang (internship), dan sebagainya. Sesuai namanya, proses homeschooling memang berpusat di rumah. Tetapi, proses homeschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah.
Homeschooling Sebagai Perspektif Pendidikan yang Berbeda
Biasanya, ketika bicara pendidikan yang berada dalam benak kita adalah sebuah institusi sekolah pada jenjang apa pun itu. Gaung pendidikan sebagai pengantar masa depan yang lebih baik, membuat kita melihat sekolah sebagai satu-satunya jalan dan model pendidikan yang akan mengantar anak-anak kita menuju masa depan.
Pandangan ini kemudian menjadikan bahwa apa pun yang ada di sekolah merupakan hal yang baik. Proses penjenjangan, ijazah, cara berpakaian, rapor, ranking, cara belajar hingga kebijakan sekolah adalah hal yang paling benar dan terbaik bagi masa depan yang gemilang.
Sementara fakta yang terjadi di dunia nyata justru sebaliknya. Setiap anak adalah berbeda satu dengan yang lain. Karena itu pula mereka juga membutuhkan metode pendidikan yang berbeda.
Tidak semua anak cocok untuk duduk di bangku sekolah dengan manis. Ada sebagian anak yang setiap detik mereka seolah selalu ingin bergerak, menyentuh, merasakan dan mencoba. Mereka belajar hanya dengan mendengar, atau mencoba; sehingga duduk manis di kelas seolah siksaan untuk anak tipe pembelajar ini.
Minat setiap anak pun berbeda; ada yang lebih suka mengutak-atik angka, kata bahkan berkreasi dengan aneka warna. Wajar jika mereka juga butuh dukungan yang berbeda untuk setiap bakatnya tersebut.
Di sinilah metode homeschooling mencoba mengembangkan sudut pandang baru dari pendidikan dan sekolah. Anak dipandang sebagai individu yang berbeda, karena itu mereka butuh model dan metode yang berbeda pula.
Akan sangat muskil jika si kreator seni kita paksa untuk bermain dengan angka. Sebaliknya, si jago matematika mungkin akan kelimpungan bila harus bermain bahasa.
Homeschooling didesain untuk membantu anak belajar sesuai minat dan bakat, dengan cara yang sesuai, kapan saja, dengan siapa saja dan dalam situasi apa saja dengan cara yang meyenangkan untuk anak.
Beberapa Pertanyaan dan Serba-Serbi Homeschooling
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang seringkali ditanyakan tentang homeschooling.
Kurikulum Homeschooling
Banyak sekali model homeschooling. Salah satunya adalah homeschooling (HS)/home education (HE) yang mengacu pada model sekolah. Model homeschooling semacam ini disebut school at home, sekolah di rumah.
Dalam model school-at-home, proses belajar yang dilakukan dalam homeschooling mengacu pada kurikulum sekolah. Kurikulum apa yang harus diacu oleh keluarga homeschooling?
Pilihannya terserah pada setiap keluarga. Keluarga dapat memilih homeschooling yang mengacu pada kurikulum nasional atau kurikulum lain, semisal kurikulum Cambridge IGCSE (International General Certificate of Secondary Education) yang digunakan oleh sekolah-sekolah internasional di Indonesia. Selain Cambridge IGCSE, banyak jenis kurikulum lain yang dibuat oleh pembuat kurikulum (curriculum provider) yang diakui di negara pembuatnya.
Jika hendak mengacu pada kurikulum tertentu, keluarga HS/HE dapat menentukan pilihan kurikulum mana yang diacu. Jika kurikulum nasional yang diacu, maka hanya ada satu jenis kurikulum yang dibuat oleh Depdiknas, yaitu kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah. Kurikulum inilah yang perlu diacu oleh keluarga HS/HE.
Kurikulum sekolah ini dapat diperoleh di situs Pusat Kurikulum Depdiknas (Puskur). Ada juga materi kurikulum itu yang dijual di toko buku. Cara paling gampang dan praktis untuk mengetahui kurikulum nasional adalah dengan melihat buku-buku pelajaran yang digunakan anak sekolah.
Walaupun menggunakan kurikulum nasional seperti sekolah, kreativitas bagi keluarga homeschooling tetap terbuka. Banyak aspek di dalam proses belajar dalam homeschooling yang tetap dapat dimodifikasi sesuai gaya belajar anak agar memperoleh hasil yang maksimal.
Keluarga homeschooling dapat menentukan sendiri buku referensi apa yang paling disukai, waktu belajar, dan juga cara mempelajari suatu mata pelajaran. Di luar mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Persamaan, anak-anak homeschooling tetap dapat mempelajari berbagai hal yang menjadi minat dan perhatiannya.
Homeschooling Adalah Membangun Budaya Keluarga
Titik berangkat homeschooling adalah keluarga. Keluarga menempati tempat yang sangat krusial dalam proses homeschooling karena keluarga menjadi model pembelajaran yang pertama bagi anak. Dan pembelajaran yang paling banyak terjadi adalah melalui kegiatan-kegiatan informal dalam keseharian.
Anak mengobrol bersama orangtua, mendengar dan mengamati segala sesuatu yang terjadi dan ada di rumah, mengeksplorasi benda-benda di rumah, mengikuti dan meniru kegiatan orangtua adalah contoh kegiatan penting dalam homeschooling. Apalagi ketika anak menjalani homeschooling usia dini.
Oleh karena itu, penting untuk membangun budaya keluarga.
Apa Itu Budaya Keluarga?
Secara sederhana, budaya keluarga adalah segala sesuatu yang dipraktekkan keluarga sehari-hari. Budaya keluarga bukan sebuah hal yang diinginkan dan diidealkan, tetapi kenyataan yang dijalani dan dilihat anak sehari-hari.
Contoh sederhana budaya keluarga adalah cara memanggil ayah/bunda, gaya komunikasi ayah-bunda & orangtua-anak. Kebiasaan mengisi waktu luang. Apa yang biasa ditanyakan/dianggap penting. Dan sebagainya.
Walaupun semua aspek budaya keluarga harus dikembangkan, menurutku setidaknya ada 3 budaya keluarga yang penting diperhatikan dalam konteks homeschooling, yaitu budaya spiritualitas, budaya pengembangan diri, dan budaya bakti/karya keluar.
Nah, mari kita coba refleksikan ketiga budaya itu di dalam keluarga kita. Setiap keluarga pasti sudah memilikinya. Dan setiap keluarga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang khas, yang berbeda antara satu keluarga dengan lainnya.
Sekarang, tantangan kita adalah terus mengasah kebiasaan-kebiasaan baik keluarga kita agar semakin berkualitas sehingga secara alami anak melihat yang baik, tumbuh dan belajar dengan nyaman di rumah.
Tujuan dan Proses Sama Pentingnya
Homeschooling berangkat dari visi keluarga (Ibu + Bapak) mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Visi ini diperlukan untuk memandu arah, juga untuk menjadi koridor dan pegangan saat homeschooling berada dalam turbulensi, misalnya: masalah keluarga, gangguan eksternal, kenyataan yang tak sesuai harapan, dan sebagainya.
Tapi visi bisa menjadi hal yang mengintimidasi kalau kita mendefenisikannya terlalu sempit dan rigid. Visi yang baik menyangkut nilai-nilai yang substansial yang secara implementasi bisa dijalankan dengan fleksibel dan tak hanya skenario tunggal.
Karena mencapai tujuan hanya salah satu hal penting dalam perjalanan, maka kita tak boleh menunda kebahagiaan. Perjalanan mencapai tujuan itu sendiri harus bisa dinikmati, baik pada momen-momen keberhasilan maupun momen kegagalannya.
Tak Semua Hal Sesuai dengan Rencana
Perjalanan homeschooling tak jauh berbeda dengan perjalanan kehidupan. Kita bisa merencanakannya dan bekerja keras merealisasikannya, tetapi pada saat yang bersamaan kita memahami bahwa banyak sekali faktor yang berada di luar kendali kita.
Ibarat petualangan, cuaca bisa memburuk setiap saat. Mungkin ada kecelakaan di jalan sehingga membuat jalanan macet dan perjalanan tertunda. Mungkin ada tanah longsor atau kaki kita keseleo. Dan sebagainya.
Gigih dan sekaligus lentur adalah sikap yang diperlukan. Gigih pada hal-hal yang prinsip. Lentur pada cara dan aksesoris. Kalau ternyata kondisi membutuhkan kelenturan dan penundaan, kita tetap bisa menikmati keadaan yang tak seperti yang kita rencanakan. Berdamai dengan kondisi, berdamai dengan ketidakpastian, berdamai dengan kegagalan, berdamai dengan ketidaksempurnaan. Dan pada saat bersamaan, kita maju terus untuk memperbaiki diri dan melanjutkan perjalanan.
Tujuan Perjalanan adalah Anak Kita
Walaupun kita memiliki otoritas yang dititipkan Tuhan sebagai orangtua untuk anak-anak kita, otoritas itu tak bisa digunakan sesuka kita. Anak bukan robot yang bisa kita bentuk sekehendak kita saja.
Ada dialektika antara visi kita sebagai orangtua yang ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Ada kedirian anak-anak yang semakin besar semakin penting kedudukannya dalam proses pendidikan karena kepentingan pendidikan yang sejati adalah untuk dirinya, bukan untuk kita (orangtuanya).
Juga, ada dialektika antara konsep/teori dengan kenyataan di lapangan. Apa yang menurut teori bagus belum tentu berjalan di lapangan. Masalahnya bisa di mana-mana: mungkin kita salah memahami, mungkin kita salah menerapkan, mungkin pra-kondisinya tidak terpenuhi, mungkin konsep itu memang tak sesuai dengan anak & kondisi di lapangan, dan sebagainya.
Nah, di titik-titik inilah muncul proses mencari keseimbangan antara visi orangtua dan kedirian anak, antara harapan dan realitas di lapangan. Di sinilah kita perlu mawas diri bahwa tujuan pendidikan adalah untuk kepentingan anak kita, bukan untuk kepentingan kita. Merekalah subyek dalam proses homeschooling yang kita jalani.
Jangan sampai kita salah mengambil jalan yang mengakibatkan tujuan perjalanan kita tak sampai. Atau, kita tetap bersikukuh berjalan hingga sampai di tujuan, tetapi ternyata bukan tujuan itu yang dikehendaki oleh anak kita.
Antara belajar dan bersekolah
Kita adalah dunia sekolah. Belajar selalu diidentikkan dengan sekolah. Yang dinamakan belajar itu yang bersekolah. Kalau tidak bersekolah berarti tidak belajar. Itulah pemahaman mainstream yang dianggap sebagai kebenaran pada saat ini.
Akibatnya, makna belajar menjadi menyempit. Belajar diidentikkan dengan bagaimana sekolah diselenggarakan. Jadi, yang disebut belajar itu ada jam khususnya, antara jam 7-12. Belajar itu tentang mata pelajaran, kalau bukan tentang mata pelajaran bukan dinamakan belajar, tetapi sekedar hobi. Belajar itu harus duduk diam mendengarkan penjelasan guru; kalau menonton Great Migration di NGC (National Geographic Channel) atau mengoprek alat elektronik, itu bukan belajar tetapi hanya mengisi waktu luang. Belajar itu harus keluar rumah dan di gedung tertentu; kalau membuat masakan di rumah itu bukan belajar, tapi membantu pekerjaan orangtua.
Homeschooling Berarti Kebebasan Belajar
Seperti bunyi salah satu produk iklan, moto homeschooling adalah: belajar apa saja, di mana saja, kapan saja, bersama siapa saja, dan dengan cara apa saja. Inilah peluang sekaligus tantangan penyelenggaraan homeschooling.
Homeschooling menantang kita untuk menjadi keluarga pembelajar dan anak-anak pembelajar, yang tak membatasi belajar hanya pada hal-hal tertentu (mata pelajaran), tempat tertentu (ruang kelas), waktu tertentu (jam belajar), dan bersama orang tertentu (guru).
Implementasi dari gagasan ini tak semudah mengatakannya. Sebab, kita mungkin sudah demikian terbiasa dengan pola belajar di sekolah yang telah mendarah daging dengan diri kita. Oleh karenanya, terkadang kita tak menganggap anak yang sedang sibuk dengan hobinya sebagai sebuah proses belajar. Sering, kita baru merasa lega kalau anak kita belajar matematika atau mata pelajaran lainnya, dibandingkan kalau anak kita asyik mengulik komputer atau membuat prakarya yang disukainya.
Dibutuhkan kesadaran dari kita sebagai orangtua untuk mengubah pola berfikir dan cara pandang kita mengenai belajar. Jika kita bisa membebaskan diri kita dari cara pandang dan pemahaman lama kita tentang belajar, perjalanan homeschooling akan terasa lebih mudah dan indah. Setiap hari menjadi tantangan pembelajaran karena kehidupan itu sendiri adalah tempat dan proses belajar.
Padahal, belajar jauh lebih luas maknanya daripada bersekolah. Sekolah hanyalah salah satu bentuk dan model belajar. Tetapi, belajar itu sendiri tak identik dengan sekolah. Yang wajib itu adalah belajar, bukan sekolah. Oleh karena itu, tantangan terbesar kita adalah bagaimana mengembalikan keluasan makna belajar. Belajar bisa apa saja (yang diminati), belajar bisa dilakukan di mana saja (yang disukai), belajar bisa terjadi kapan saja (diinginkan), belajar bisa dari siapa saja (yang mencerahkan).
Itulah pendidikan sepanjang hayat, kehidupan yang menjadi ruang belajar sekaligus proses belajar. Bisakah kita? Semoga.