Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk, beragam sosial, etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain sebagainya, sehingga bangsa Indonesia sering disebut sebagai bangsa multikultural. Pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebhine-katunggalikaan yang dapat menjadi "integrating force" yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, budaya, dan agama”.
Kesadaran tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep multikulturalisme menjadi sebuah konsep baru dan asing. Karena kesadaran multikulturalisme yang dibentuk oleh pendiri bangsa ini tidak terwujud pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas nama persatuan dan stabilitas negara yang kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik ”penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya, sehingga sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.
Perbedaan budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan, visi dan misi, keyakinan, dan tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan bahwa berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara Kesatauan Republik Indonesia, merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalime.
Saat ini kita mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai multikulturalis. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Indonesia akan berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat kebhinekatunggalikaan. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat.
Tekanan multikulturalisme bisa kita transfer ke dalam pembelajaran di sekolah. Maka gagasan pembelajaran bercorak multikultural, bisa dipahami sebagai suatu proses penyadaran terhadap adanya keanekaragaman serta kesediaan memberlakukan setiap etnis, budaya dan agama secara egaliter. Dalam rangka itu, para siswa diberi penguatan agar bisa mentransformasikan pengalamannya yang subjektif, ke pengalaman dengan subjektivitas ganda (double-subjectivism). Dalam subjektivitas ganda, pengalaman masing-masing pribadi coba didialogkan untuk bersama-sama mencari titik temu (modus vivendi).
- Pendahuluan
Mengawali tulisan ini sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang patut kembali saya kemukakan di sini, yaitu motivasi apa yang mendorong berbagai suku bangsa, agama, bahasa menyatakan dirinya bersatu dan memilih yang dinamakan Indonesia? Menjawab pertanyaan tersebut menurut saya, ialah ikatan kukuh (indisoluble and permanent nation) diantara berbagai suku, agama, bahasa, karena kita mempunyai semangat kebersamaan, semangat persatuan dan tekat yang sama untuk membentuk negara kesatuan yang dinamakan Indonesia. Selain itu, pada awal mula menyatunya berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama menjadi satu nasion yang dinamakan Indonesia, karena kita menghadapi musuh yang sama (common enemy) yakni penjajah.
Untuk mendukung argument di atas saya mencoba mengutip pendapat Max Weber3 mengatakan Each nation has its own of moral phylosopy conforming to is character, artinya setiap bangsa mempunyai falsafah moral masing-masing yang sesuai ciri-ciri khusus bangsa itu. Selanjutnya ia mengakatan “karena nilai-nilai moral yang kita miliki, sebenarnya adalah nilai-nilai yang diakui bersama oleh kelompok tempat kita berada” (human concience that we must integrally realize is nothing else than the collective concience of the group which we are the part).
Semakin majemuk masyarakat, semakin majemuk fungsi-fungsi di dalamnya, semakin majemuk pula nilai-nilai yang disepakati untuk dijadikan tali pengikat mereka dalam kebersamaan.
Jiwa kehidupan sosial suatu masyarakat bersumber dari dua hal yakni adanya pembagian fungsi diantara sesama anggotanya dan adanya kesamaan pandangan tentang nilai-nilai moral. Pandangan tentang nilai-nilai moral itu akan berkembang sesuai dengan perkembangan kemajemukan dalam masyarakat itu sendiri. Ada yang berubah, ada juga yang dipertahankan. Jika unsur kesamaan hilang dari seseorang, maka ia dilihat sebagai bukan orang kita atau ia berbeda dari kita. Jika kehilangan kesamaan itu terjadi pada sisi yang dianggap sebagai fundamental, maka dapat merusak kelangsungan hidup itu sendiri. “ It is impossible for offense againts the most fundamental collective sentiments to be tolarable with out the disintegration”.
Pesatnya perkembangan dalam revolusi teknologi ternyata semakin meniadakan batas bagi masyarakat dunia—antara negara sebagai realitas dunia. Berbagai kemajuan ikut melahirkan konflik primordial (suku, agama, ras) dalam bungkus globalisasi ideologi dan ekonomi.
Konflik primordial terasa di berbagai daerah beberapa waktu lalu seperti konflik Poso, Sambas dan Ambon. Semua itu sebenarnya memperlihatkan bagaimana globalisasi ideologi yang menyungkup dunia, juga memperlihatkan adanya elemen politik di dalamnya.
Terjadinya dislokasi posisi dan disorientasi nilai, baik bagi individu maupun kelompok masyarakat sebenarnya memaknai bahwa dalam kehidupan kini telah terjadi kesenjangan ideologi, akibat kebijaksanaan yang dilakukan oleh negara. Dan di bidang politik, melahirkan marginalisasi politik yang sebenarnya mencairkan identitas individu atau kelompok dalam masyarakat. Kebutuhan akan identitas itulah yang melahirkan berbagai potensi isu primordialisme. Melalui pengatasnamaan primordialisme sebagai identitas, maka militansi yang tercipta memperlihatkan sebagai passion bagi para pendukungnya.
Pada sisi yang lain, penyeragaman yang terjadi, yang dilakukan oleh negara menolak pluralisme serta berupaya meniadakannya, justeru memperlihatkan gambaran yang pedih, sebagaimana yang terlihat pada sejumlah konflik horizontal di beberapa daerah seperti di Poso, Sambas, Jakarta, Madura dan Maluku. Konflik-konflik seperti itu memperlihatkan betapa kuatnya kesetiaan lokal atau kesetiaan terhadap ikatan-ikatan primordial yang antara lain disebabkan oleh faktor hubungan darah, ras, daerah, agama, dan adat istiadat, yang menurut Geertz dapat merupakan pemicu bagi ancaman integrasi bangsa.
Konflik-konflik atau ketidakpuasan primordial timbul karena etnis-etnis tertentu merasa tersisih oleh pembangunan sehingga hal itu dapat menimbulkan kecemburuan seperti yang dikatakan oleh Geertz, “ In first instance primordial discontent arises from a sence of political suffocation; in the second, from a sence of political dismemberment”
Munculnya berbagai konflik di tanah air sebenarnya merupakan ekses langsung dari praktek otonomi daerah. Gejala tersebut dapat dipahami karena pelaksanaan otonomi daerah yang pertama diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah. Kedua, otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah euphoria masyarakat, yakni semangat dan rasa percaya diri yang tinggi bahwa masyarakat yang seringkali bersifat kekerasan dan melewati batas-batas kewajaran.
Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “… It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.
Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “… It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.
Apa yang diutarakan oleh Geertz dan Weiner tampak mengena bagi Indonesia. Contoh-contoh kasus konflik horizontal di Indonesia adalah merupakan munculnya kesetiaan dan identitas lokal yang menjadi pemicu dari ketegangan-ketegangan politik maupun sosial. Nampaknya ketegangan-ketegangan itu ditimbulkan karena sentimen primordial sesudah kita memberlakukan desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Kekerasan antarkelompok, antaragama yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok, antaragama dan betapa rendahnya saling pengertian antarkelompok. Sehingga Colombijn11 menyebut Indonesia sebagai a violent country. Menurutnya, orang-orang Indonesia telah mengalami tingkat kekerasan yang mengerikan.
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul di tanah air12. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras, agama merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari preference yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas (agama) dapat dihindari bahkan tidak terjadi.
Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.
Indonesia sebagai negara multietnis memperlihatkan kecenderungan kurang “bersehabat”, oleh karena struktur masyarakat kita yang organik, yakni hubungan antaretnis nampaknya hanya bersifat semu. Setiap etnis sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, tanpa adanya kesediaan ruang dialog untuk memecahkan kebuntuan hubungan itu. Selain itu munculnya pula klaim kebenaran (truth claime) pada setiap etnis tanpa memperlihatkan sifat bersehabat, mendorong munculnya konflik yang mengarah pada perpecahan. Dalam tataran ini Max Weber13 mengatakan bahwa orang-orang yang tidak memperlihatkan sifat persahabatan dengan orang lain, berarti tidak mempunyai sifat-sifat solidaritas dengan orang lain yang bisa menimbulkan semacam collective efferrescence atau keadaan yang meluap yang dialami oleh kelompok. Sifat-sifat masyarakat yang selalu mengarah kepembentukan kelompok eksklusif yang mengakibatkan majemuknya kepentingan itu mempunyai konsekuensi dari munculnya konflik terbuka.
Konflik horisontal di Indonesia, bisa mungkin sangat rentan karena kelompok kepentingan yang terdapat dalam masyarakat mempunyai kepentingan sendiri dan ingin supaya kepentingan itu didahulukan dari pada kepentingan kelompok lainnya. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa kalau kita mau membuat masyarakat menjadi lebih baik, lebih harmonis dari pada sekarang, pengetahuan atau pemahaman kita terhadap etnis lain mutlak diperlukan. Hanya dengan pengetahuan atau pemahaman itu kita dapat mendekati permasalahan pokok yang dihadapi bangsa kita.
Merebaknya konflik horisontal di banyak tempat di Indonesia paska otonomi daerah merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi oleh negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Konflik horizontal demikian telah menggugah kesadaran baru di antara komponen bangsa Indonesia bahwa kebanggaan akan kehidupan berbangsa satu di atas kebhinekaan adalah suatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.
Konflik horisontal memberi bukti bahwa kekokohan bangunan supra-struktur negara kebangsaan sangat rapuh. Ada dua faktor penyebab kerapuhan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara menurut Suparlan. Pertama, doktrin ideologis Bhineka Tunggal Ika telah diselewengkan oleh sebuah kekuatan yang berorientasi pada pemerintahan pusat. Akibatnya daerah-daerah kurang diberi kepercayaan untuk mengurus dirinya sendiri.
Kedua, pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural lebih memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman berbagai aspek sistem sosial, politik, dan budaya. Akibatnya, jati diri sistem lokal dikesampingkan. Ada tiga hal yang biasa melatarbelakangi munculnya disinteraksi/konflik antara kelompok mayoritas dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas, menurut Greenstone16 yaitu: (1) prasangka historis, (2) diskriminasi dan (3) perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out-group).
Munculnya konflik yang benuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia ke depan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.
Konsep kearifan budaya lokal, dalam konteks kehidupan dan relasi sosial di tengah komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam menciptakan suasana sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearifan budaya lokal dalam konteks kehidupan di tengah masyarakat yang pluralis, secara sejatinya dapat memberikan peran bagi tertatanya hubungan sosial yang harmoni dengan semangat saling menghargai dan menghormati.
Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam berbagai kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan. Namun, ketika segmentasi horizontal tersebut berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan sosial dan kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya menjadi lain, lebih dari sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah menjadi potensi konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal, karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap (fixed) dan kefaktaan yang membatasi (faclicity).
- Posisi Politik dan Peran Dominatif Kelompok Etnik
Secara umum, kompleksitas masyarakat mejemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa capain yang diperoleh melalui prestasi (achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan, dan kondisi pemukiman.
Perbedaan horizontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik.
Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan sumberdaya, alat-alat produksi, dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik, dan ideologi, serta perluasan batas-batas identitas sosial-budaya dari sekelompok etnik.
Berbeda dengan perbedaan horizontal, perbedaan vertikal diasumsikan sebagai faktor yang menentukan tercetusnya konflik sosial. Karena status sosial dan ekonomi serta kedudukan politik signifikan dalam setiap interaksi sosial antara kelompok-kelompok etnik. Apakah interaksi sosial tersebut akan bersifat positif atau negatif, sangat ditentukan oleh kadar perbedaan-perbedaan vertikal di antara kelompok-kelompok etnik. Dan bukan dari perbedaan-perbedaan horisontal, sebagaimana yang banyak diyakini selama ini.
Semakin tinggi posisi politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik, akan semakin kuat menimbulkan prasangka (stereotype negative) yang menjadi sumber ketegangan dan konflik antarkelompok etnik. Apalagi kalau mengacu konsep dominatif yang lebih menekankan pada aspek kualitatif daripada aspek kuantitatifnya. Di mana suatu kelompok etnik minoritas juga berpeluang memiliki peran dominatif, jika kelompok tersebut secara substansial menguasai struktur politik atau ekonomi di daerah (Negara) tertentu.
Sehingga dari pola interaksi sosial dalam masyarakat majemuk, jangan terpaku hanya pada perbedaan-perbedaan horisontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau meminimalkan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek sosial budayanya. Seperti penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional. Atau gerakan pergantian nama dalam masyarakat Cina, memasyarakatkan batik sebagai identitas nasional. Atau dengan penataran untuk menanamkan norma-norma bersama yang mengatur tingkah-laku, bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Tetapi hendaknya menaruh perhatian yang lebih pada pemecahan masalah-masalah persaingan dalam memperebutkan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi-politik. Kenyataan di lapangan seperti kasus Sambas di Kalimantan Barat menunjukkan, bahwa sebelum terjadinya perluasan daerah batas-batas wilayah sosial ekonomi katolik dengan non-katolik semasa kolonial cukup harmonis dan menghormati keyakinan masing-masing.
Jadi secara hipotesis dapat disimpulkan, bahwa sumber konflik sosial antara berbagai etnik atau golongan bukan didominasi oleh perbedaan horisontal. Tetapi yang lebih menonjol disebabkan oleh faktor perbedaan-perbedaan vertikal. Karena interaksi dalam perbedaan vertikal antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang didominasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka, dan ketegangan. Dan apabila tidak segera diantisipasi, maka kondisi itu sangat rentan dimanfaatkan oleh mereka yang tak bertanggung jawab untuk memicu konflik sosial dan kerusuhan massal.
Landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk (plural society) sudah saatnya dikaji kembali. Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis. Untuk mencapai tujuan demokratisasi, ideologi harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa, yang baik langsung maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri individu.
Ada sentimen-sentimen kesukubangsaan yang memiliki potensi pemecah-belah dan penghancuran di antara sesama bangsa Indonesia. Antara lain karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka, yang menghasilkan penjenjangan sosial seara primordial yang subyektif. Konflik antaretnik dan antaragama yang terjadi, berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik aseli setempat dengan pendatang. Konflik-konflik itu terjadi, karena adanya pengaktifan jatidiri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumberdaya yang ada.
Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik perlu dikaji dan digeser pada pluralisme budaya (multikulturalisme), yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik, tetapi juga berbagai kebudayaan lokal yang ada di Indonesia, dan harus dibarengi kebijakan politik nasional yang meletakkan berbagai budaya itu dalam kesetaraan derajat. Sehingga tidak ada lagi etnik yang merasa superior dan inferior, sebab tiada jenjang sosial karena asal etnik.
Prinsip demokraksi hanya mungkin hidup dan berkembang secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka (open society), yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.
Masyarakat terbuka adalah suatu masyarakat yang membuka diri bagi pembaharuan dan perbaikan. Amoda20 menambahkan, harus ada suatu “built in mechanism” untuk self-renewal and self-rejuvenation. Masyarakat terbuka itu harus berorientasi ke depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang membawa serta kemajuan teknologi, dan berpijak pada kenyataan, bahwa kiat mendiami suatu Benua Maritim Indonesia serta aspirasi bangsa yang tertuang dalam nasionalisme baru yang menghargai pluralitas budaya (multikultural).
- Kebijakan Politik Identitas
Sejak reformasi 1998 pemikiran tentang demokrasi dan desentralisasi muncul ke permukaan sebagai tanggapan balik atas kekuasaan sentralistik rezim Soeharto. Angin segar perubahan ini di satu sisi memberikan peluang bagi terlaksananya hak-hak politik rakyat, di sisi lain telah pula memicu menguatnya aktivitas politik yang mengandung permainan politik identitas.
Menguatnya politik identitas ini terkait dengan upaya-upaya mulai sekadar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan politik identitas tercermin mulai dari upaya memasukan nilai-nilai ke dalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan sparatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terrefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya peraturan daerah syari’ah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu.
Secara teoritis munculnya politik identitas merupakan fenomena yang disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adanya aspek struktural berupa disparitas ekonomi masa lalu dan juga masih berlanjutnya kesulitan ekonomi saat ini yang telah memberikan alasan pembenaran upaya pemisahan diri sebuah kelompok primordial, berlindan dengan aspek keterwakilan politik dan institusional. Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan melembaganya partisipasi dan keterwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah memicu munculnya kebijakan politik identitas. Sementara meluasnya kekhawatiran yang muncul akibat ketidakpastian situasi dan adanya potensi hilangnya hak-hak previlege berubahnya tatanan institusional pemerintahan memicu pula penguatan dan internalisasi sentimen.
Etnis merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan identifikasi diri dan askripsi sosial yang sulit dirubah karena mendasarkan diri pada persamaan-persamaan yang bersifat kodrati (given), seperti warna kulit, suku, kasta, asal, dan sampai taraf tertentu agama. Negara, baik pada masa Orde Baru maupun sekarang, sering berupaya untuk menghilangkan etnisitas di atas. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah peniadaan daerah asli, melunturkan keetnisitasan dan penghayatan keagamaan dengan modernisasi, pengaturan agar tidak ada kejumbuan antara agama dan suku (kasus Mandar), pemaksaan militer, imunitas aparat pelanggar HAM, dan sentralisasi kekuasaaan dan eksploitasi SDA (sumber daya alam) yang aseli (kasus Aceh). Semua upaya tersebut pada akhirnya justru akan memperkuat gerakan etnis (seperti gerakan putra daerah) untuk merdeka.
Pada tahun 1999, diadakan Pemilu yang diikuti banyak partai. Dalam Pemilu itu, parpol beridentitas agama dan etnis memperoleh suara yang kecil. Perolehan suara itu memberi tanda penting, bahwa penggunaan identitas agama dan etnis di tingkat Nasional, kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas. Kondisi serupa juga ditunjukkan pada saat Sidang MPR 2000, yang antara lain membahas tentang amandemen UUD 1945. Pada masa itu, parpol berbasis agama (Islam), memperjuangkan formalisasi syariat Islam di level nasional, melalui pencantuman Piagam Jakarta dalam preambule UUD 1945. Melalui tarik ulur dengan kelompok nasionalis, akhirnya upaya itu tidak berhasil diwujudkan.
Meski menemui kegagalan di tingkat nasional, namun keinginan ini tidak sepenuhnya pudar. Mereka seakan menemukan ruang lagi seiring dengan hadirnya politik desentralisasi di bawah payung hukum UU Nomor 22/1999. Situasi ini memberi peluang baru bagi kalangan ini untuk bisa menunjukkan ekspresi identitas (keagamaan dan etnisitas) melalui perebutan ruang-ruang di tingkat lokal salah satu ruang yang disasar itu adalah perjuangan formalisasi agama (syariah/injili) melalui perda. Kebanyakan peraturan daerah itu lahir di daerah-daerah yang penduduknya memeluk agama mayoritas dan mempunyai prinsip keagamaan yang kuat. Setelah disentralisasi sampai sekarang telah lahir sejumlah peraturan daerah bernuansa syariah diaras provinsi, kabupaten, dan kota di beberapa daerah. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa perda syariah sebentuk “islamisasi negara ditingkat lokal”.
Ada sejumlah alasan yang dimunculkan dalam regulasi itu, antara lain ialah (a) untuk mengembalikan identitas (otentisitas) lokal yang dihilangkan pada masa Orde Baru, (b) hukum positif dianggap tidak mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan (dekadensi moral privat) ; (c) desakan anggota parlemen dari parpol Islam seperti PPP dan PBB, serta dari tokoh agama (Islam); (d) memperoleh dukungan dari kalayak publik setempat dengan basis keagamaan.
Penyusunan regulasi formalisasi agama itu cenderung dilakukan secara elitis dan oligarkis. Dalam arti tanpa melalui proses panjang dan terbuka untuk semua masyarakat, bahkan bagi yang beragama Islam sekalipun, kecuali representasi elit-elit ormas dan pusat keagamaan (Islam) seperti, pesantren, MUI, NU, dan Muhammadiyah. Politisasi agama di tingkat lokal, antara lain melalui peraturan daerah agama (syariah) itu, di samping memanfaatkan politik desentralisasi, juga banyak didukung oleh posisi lemahnya negara yang juga diperburuk oleh krisis ekonomi.
Politik identitas (termasuk) dengan mempolitisasi agama dapat dipakai terus menerus sebagai alat untuk kepentingan elit dalam berbagai ujud, seperti gagasan-gagasan dalam jangka panjang menengah (simbol kota santri), dan juga dapat berdampak diskriminatif terhadap posisi perempuan. Dalam bagian lain, kebijakan publik dipakai sebagai sarana kekuasaan yang memungkinkan terjadi penguatan politik identitas di satu pihak dan juga melemahkan di pihak lain.
Bila ditarik ke belakang, politisasi agama yang terjadi akhir–akhir ini bukanlah hal yang baru. Tapi terkait dengan dinamika kesejarahan Indonesia, yaitu relasi antara agama dengan negara yang belum selesai. Imajinasi sebagian pihak untuk mendirikan negara Islam pada masa lampau (baik masa paska kemerdekan-BPUPKI tahun 1945, sidang MPRS 1968, dan SU MPR 2000-maupun masa kerajaan) seolah hadir kembali dengan kehadiran sejumlah peraturan daerah syariah di baberapa daerah akhir-akhir ini.
Etnisitas semakin menguat dan memperoleh tempatnya dalam dinamika politik lokal di Indonesia seiring dengan penerapan sistem desentralisasi pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998. Dalam perkembangan di Indonesia etnisitas telah mengalami proses pemanipulasian oleh elit dan dijadikan instrumen perjuangan politik dan budaya untuk memperebutkan kekuasaan. Di tingkat lokal terutama pada masyarakat di mana sistem primordial etnis masih kuat berpengaruh, identitas etnik masih menjadi daya tawar yang menarik.
Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga mampu memengaruhi aktivitas politik di tingkat lokal. Menguatnya isu etnisitas ini dilakukan oleh elit antara lain dengan upaya membenturkan keberadaan satu etnis yang merasa tidak diuntungkan oleh keberadaan etnis lain sehingga mampu membangkitkan sentimen etnis di suatu daerah. Kasus tuntutan pemekaran provinsi dan kabupaten memberi gambaran adanya upaya penggarapan dukungan massa dengan menjadikan etnisitas sebagai alat propaganda politik.
Mengedepankan politik etnisitas sebagai alat negosiasi politik, bagi elit ternyata masih dianggap sebagai sarana efektif untuk merealisasikan tujuan politiknya tetapi di sisi lain upaya itu ternyata bisa menimbulkan dampak negatif berupa lahir dan tumbuhnya benih-benih konflik horizontal antaretnis yang justru menjadi faktor penghambat pencapai tujuan pembangunan.
Persoalan ini muncul ke permukaan karena masalah politik etnisitas ini telah dijadikan komoditas politik oleh elit politik terutama paska otonomi daerah yang cenderung memaksakan diri pemekaran daerah dan bahkan dalam tataran lebih ekstrem politik identitas dijadikan alat kampanye politik untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Konsep Multikulturalisme
Kemajemukan suku merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang sering dibanggakan. Banyak orang yang belum juga menyadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak awal pada anggota masyarakat Indonesia, tentunya melalui pendidikan (pembelajaran multicultural), agar mekanisme dan nilai-nilai substantif (dalam demokrasi) dipahami secara benar. Sebab nilai-nilai multikultural dan nlai-nilai demokrasi memuat nilai humanisme seperti keadilan, empati, kebersamaan, dan mampu menerima perbedaan.
Pluralisme atau kemajemukan pastilah didapati pada setiap masyarakat. Teristimewa pada saat ini, ketika teknologi transformasi dan informasi telah mencapai kemajuan sangat pesat, kemajemukan merupakan inevitable destiny23 di tingkat global maupun di tingkat negara dan komunitas. Secara teknis dan teknologis kita telah mampu tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, namun spiritualitas kita belum memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan budaya yang antara lain mencakup perbedaan agama, etnisitas, dan kelas sosial.
Kesadaran tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk ”mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep multikulturalisme menjadi sebuah konsep baru dan asing.
Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep ”keanekaragaman” secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Konsep multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya yang lebih relevan. Konsep ini senada dengan apa yang dikemukakan Bloom dalam Atmadja, bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Artinya, meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
Spradely (1997), menitikberatkan multikultural pada proses transaksi pengetahuan dan pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menginterpretasikan pandangan dunia mereka yang berbeda untuk menuju kearah kebutuhan kultur. Kata multikultural menjadi pengertian yang sangat luas [multi-discursive], tergantung dari konteks pendefinisian dan manfaat apa yang diharapkan dari pendefinisian tersebut. Yang jelas dalam kebudayaan multikultural setiap individu mempunyai kemampuan berinteraksi, meskipun latar belakang kultur masing-masing berbeda, karena sifat manusia antara lain, adalah (1) akomodatif, (2) asosiatif, (3) adaptabel, (4) fleksibel, dan (5) kemauan untuk saling berbagi. Inilah menunjukkan keragaman kultur mengandung unsur jamak atau keragaman yang sarat dengan nilai-nilai kearifan.
Dalam konteks membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, nilai-nilai kearifan yang dalam hal ini kearifan sosial dan kearifan budaya dapat dijadikan sebagai tali pengikat dalam upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Dengan nilai kearifan sosial dan kearifan budaya, akan berusaha mengeliminir berbagai perselisihan dan konflik budaya yang kurang kondusif. Tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku yang saling menghormati, menghargai perbedaan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan dan menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan tersebut. Untuk itu, harus berusaha untuk mengeliminir atau menghilangkan hal yang selalu menjadi emberio atau mendasari terjadinya konflik, yaitu [1] prasangka historis, [2] diskriminasi, dan [3] perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain [out-group].
Apabila ketiga hal tersebut tidak mampu dieliminir individu maupun kelompok, maka konflik dan benturan antarindividu atau kelompok yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik, idologi, agama akan menjadi sesuatu legal dan lumrah dalam interaksi sosial, karena keringnya nilai-nilai kemanusiaan (humanis), keringnya niai-nilai kearifan sosial, keringnya nilai-nilai kearifan budaya dan keringnya nilai-nilai kearifan moral dalam relasi antarsesama manusia baik secara individu maupun kelompok. Jadi pada tahap ini, komitmen pada nilai-nilai tersebut tidak dapat dipandang hanya berkaitan dengan eksklusivisme personal dan sosial saja atau dengan superioritas kultural saja, tetapi lebih jauh lagi dengan persoalan kemanusiaan (humanness), komitmen dan kohesi kemanusiaan termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunanikasi. Ketika manusia berhadapan dengan simbol-simbol, nilai-nilai, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan – baik personal mapun komunal – dan kebudayaan yang dihasilkannya. Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai ”kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Konsep multikulturaliems seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban.
Konsep multikulturalisme yang diartikan para ahli sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Walaupun ada perbedaan, tapi pandangan mereka tentang multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan terhadap dunia yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam politics of recognition. Parekh, 1997:183-185, dalam Azyumardi33, membedakan lima macam bentuk multikulturalisme dan tentu saja kelima bentuk multikulturalisme itu tidak “kedap air” [watertight], tetapi sebaliknya dapat saja tumpang tindih satu dengan lainnya dalam segi-segi tertentu, yaitu :
Pertama, multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh kelompok ini, seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat ”Amish” di AS. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.
Kedua, multikulturalisme akomodatif, masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
Ketiga, multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan [equality] dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya.
Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
Kelima, multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapuskan ”batas-batas kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist dan memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.
- Pendidikan (Pembelajaran ) Multikultural
Mengacu pada pandangan dan konsep yang dikemukakan sebelumnya, maka pendidikan (pengajaran) multikultural di sekolah merupakan keniscayaan. Sebab pendidikan (pengajaran) multikulturalisme mempunyai relevansi makna dan fungsi yang tepat di tengah keragaman peserta didik. Konsep multikulturalisme menjadi penting untuk dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai masyarakat dan bangsa yang beragam ini. Sebab prinsip-prinsip dasar multikulturalisme mengakui dan menghargai keberagaman kelompok masyarakat seperti etnis, ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan, dan tradisi yang akan sangat membantu bagi terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan sangat menjanjikan di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk. Sarana terbaik dan strategis yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan konsep multikulturalisme agar melahirkan perilaku sosial kondusif, kearifan sosial, kearifan budaya dan kearifan moral atau akhlak adalah melalui pendidikan multikulturalisme. Sebab ada dugaan kuat munculnya konflik antaretnis, antarsuku, antaraagama, tidak dapat tidak karena rendahnya pendidikan masyarakat. Melalui pembelajaran multikultural setidaknya dapat meminimalisir konflik-konflik tersebut.
Program pendidikan bagaimanakah yang relevan dengan kehidupan masyarakat dan bangsa dengan corak masyarakat majemuk ini dengan berbagai etnis, sukubangsa dan agama yang ada di dalamnya. Sebab masing-masing etnis, sukubangsa dan agama tadi membawa kultur sendiri-sendiri dan keragaman ini tentu menjadikan masyarakat dan bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural. Oleh karenya, pengakuan akan keragamaan etnis, suku dan budaya penting ditumbuhkan pada peserta didik, karena para pendiri bangsa ini sesungguhnya telah menempatkan ideologi multikultural sebagai dasar kehidupan bernegara dan berkebangsaan yaitu ”Bhineka Tunggal Ika.
Dalam ideologi multikultural perbedaan dalam kesederajatan tentu diakui dan diagungkan, baik secara individual atau kelompok maupun secara kebudayaan. Sayangnya, penghargaan terhadap perbedaan dalam kesederajatan ini nyaris tidak pernah ditumbuhkembangkan terutama selama lebih dari 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru. Selama kurun waktu itu, konsep pendidikan selalu seragam dan selalu merupakan upaya atau berkarakteristik penyeragaman budaya.
Satu semangat dengan pendidikan humaniora adalah pendidikan multikulturalisme yang belakangan ini menjadi isu utama dalam wacana pendidikan nasional. Secara konseptual multikulturalisme berbeda dengan pluralisme. Pluralisme hanyalah sebuah pengakuan terhadap keanekaragaman, tentang kemajemukan atau kebhinekaan, bahwa di sana terdapat berbagai ras, suku agama atau kelompok-kelompok budaya. Sedangkah multikulturalisme lebih sekadar pengakuan tetapi membuka ruang untuk akses dan berekspresi bagi semua elemen keanekaragaman tersebut dengan bersumber pada jati diri masing-masing, dan kemudian saling berkomunikasi tanpa harus saling mematikan satu sama lain.
Multikulturalisme mengakui berbagai potensi dan legitimasi keragaman dan perbedaan sosio-kultural tiap-tiap kelompok etnis, ras, agama dan entitas kebudayaan. Sistem pendidikan nasional mesti sensitif terhadap masalah keberagaman tersebut, karena posisinya sangat strategis dalam membangun watak bangsa yang tidak sektarian, tetapi toleran, demokratis, dan humanistik. Pendidikan yang disemangati multikulturalisme sangat penting bagi bangsa Indonesia karena apresiasi dan saling hormat menghormati terhadap perbedaan harus dibentuk dari tingkat paling dini dalam kehidupan anak.
Bambang K. Prihandono mengatakan dasar tujuan pendidikan multikultural adalah perubahan sosial. Maka tiga arus transformasi menjadi keniscayaan, yaitu (1) transformasi diri, (2) transformasi sekolah dan sistem sekolah, serta (3) transformasi masyarakat.
Pendidikan multikultural adalah sebagai proses transformasi sekolah dan sistem sekolah memasukan system pendidikan yang berbasis pada pedagogi siswa, kurikulum yang bermuatan pada perspektif multicultural, penciptaan situasi kelas dan adanya proses evaluasi terus menerus untuk perbaikan sistem pendidikan multikultural.
Tujuan pendidikan (pembelajaran) multikultural adalah agar anak-anak dapat menghormati keanekaragaman budaya yang ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat mengenali dan melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi yang telah ada. Pada intinya pendidikan multikultural mempunyai dua fokus persoalan, yaitu:
Pertama, proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan merayakan perbedaan di semua bidang kehidupan manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat, yang berupa pandangan hidup, kebiasaan, kebudayaan, yang semuanya telah memperkaya kehidupan manusia
Kedua, proses pendidikan yang menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM, menentang ketidakadilan diskriminasi dan menyuarakan nilai-nilai yang membangun keseimbangan.
Pendidikan multikultural adalah sintesa dari pendekatan pendidikan anti-rasis dan multi-budaya yang dipakai secara internasional pada tahun 60an hingga 90an. Indonesia sejak awal berdirinya telah mempunyai banyak keanekaragaman budaya, suku, bahasa dan agama. Keanekaragaman inilah yang sering diistilahkan dengan multikultural atau interkultural. Kedua istilah ini menggambarkan situasi di mana terdapat banyak kultur dalam sebuah negara.
Istilah multikulturalisme kadang digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat banyak kultur yang berbeda yang hidup berdampingan tanpa ada banyak interaksi. Istilah interkulturalisme mengungkapkan sebuah kepercayaan yang setiap orang merasa diperkaya secara pribadi dengan berinteraksi dengan kultur lain. Setiap orang dari suku yang berlainan dapat terlibat dan belajar dari satu sama lainnya.
Pendidikan tidak hanya merefleksikan kondisi masyarakat, tapi juga memengaruhi perkembangannya. Misalnya, sekolah sesungguhnya mempunyai peran dalam mengembangkan masyarakat interkultural. Akan tetapi sekolah sebenarnya bukan satu-satunya yang terbebani dengan tanggung jawab menentang ketidakadilan budaya ataupun menyuarakan arti penting interkulturalisme. Sekolah mempunyai kontribusi yang penting untuk memfasilitasi perkembangan anak dalam hal penyikapan, kecakapan, nilai-nilai dan pengetahuan interkultural. Pendidikan interkultural seharusnya dijadikan sebagai cara untuk mengajak anak untuk berpartisipasi dalam perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Bisa dikatakan, pendidikan yang hanya didasarkan pada satu kultur, akan sulit mengembangkan anak didik ke depannya.
Pendidikan interkultural ditujukan untuk:
- Menciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat majemuk
- Menumbuhkan kesadaran anak atas kultur mereka sendiri dan menyelaraskannya dengan kenyataan bahwa ada banyak cara hidup lain selain cara hidup mereka sendiri
- Menumbuhkan respek terhadap lifestyle lain selain lifestyle mereka sendiri, sehingga anak akan saling memahami dan menghormati
- Menumbuhkan komitmen persamaan hak dan keadilan.
- Membuat pilihan-pilihan bagi anak tentang bagaimana bertindak berkaitan dengan isu-isu diskriminasi dan kecurigaan
- Menghargai dan menghormati kesamaan dan perbedaan
- Menjadikan anak dapat mengungkapkan kultur dan sejarah mereka sendiri.
Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan kebudayaan mereka sendiri. Karena semua anak sekarang hidup dalam suatu tatanan dunia yang semakin beranekaragam, maka kita perlu mempersiapkan mereka. Pendidikan interkultural adalah bagian penting dari pengalaman pendidikan setiap anak, baik ketika anak belajar di sekolah yang berkarakter multikultural maupun mono-kultural, bagi anak yang berasal dari kultur dominan maupun minoritas.
Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan umur mereka. Mengakui bahwa perbedaan adalah normal dan wajar dalam hidup manusia, harus ditanamkan pada anak, berapa pun usia mereka. Sikap dan kemampuan anak yang mungkin akan menimbulkan persoalan kelak, sebenarnya telah berkembang ketika mereka masih kecil.
Bahasa dan perbincangan adalah komponen fundamental dari pendidikan interkultural. Adalah penting untuk memberikan anak informasi yang akurat dan menentang segala stereotip dan miskonsepsi. Mengembangkan kecakapan interkultural adalah lebih efektif jika dilakukan melalui perbincangan dengan anak tentang pemikirannya, daripada memberikan penjelasan mengenai salah dan benar.
Pendidikan interkultural terjadi secara natural melalui ‘kurikulum tersembunyi’ melalui apa yang dilihat dan diserap di mana anak tersebut tumbuh. Sementara itu, kelihatannya mungkin dan perlu bila ide-ide interkultural dan keadaan mayarakat yang melingkupi anak, dimasukkan dalam pengajaran kulikulum formal. Dalam mengeksplorasi kurikulum tersembunyi yang ada di masyarakat secara alami, penting juga untuk dicatat bahwa apa yang ditemukan di dalam masyarakat sama pentingnya dengan apa yang tidak ada.
Pendidikan interkultural lebih berkaitan dengan kultur dan agama, daripada dengan warna kulit atau kebiasaan. Pada contoh kasus di atas, warna kulit yang menjadi persoalan diskriminasi. Pendidikan interkultural harus secara benar diposisikan dalam melawan diskriminasi karena warna kulit maupun kultur dan agama maupun kelompok minoritas.
Mengacu pada pendapat Paul Gorski, dalam Muhaemin El-Mahadi, kurang lebih ada lima pendekatan dalam pendidikan multikultural.
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan, dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang, 2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan, 3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial, 4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat, 5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhada tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.