Kiamat Manusia Ada di Artificial Intelligence

Dr. Frankenstein Masa Depan

Tahun 1818 Mary Shelley menuliskan cerita fenomenal tentang sosok ilmuwan yang menciptakan makhluk hidup melalui jasad manusia yang telah tiada. Singkat cerita, makhluk yang ia buat kemudian lepas kendali dan menyerang seantero Eropa. Cerita tersebut menggelitik insting penasaran terliar dari dalam diri manusia hingga terlahir pertanyaan, apakah manusia dapat membuat entitas baru tanpa melalui reproduksi? Apakah entitas baru tersebut dapat dikatakan makhluk hidup? Apakah manusia dapat bersahabat dengan entitas tersebut? ataukah entitas tersebut justru melahirkan kiamat bagi manusia?

Manusia memang memiliki imajinasi yang tidak terbatas, sekalipun raga mereka hanya terbuat dari gugusan karbon. Mary Shelley telah menuliskan bahwa ambisi manusia terus-menerus berkembang menembus dinding kemustahilan yang mungkin menjadi limitasi akan kemampuan mereka. Sayangnya, Mary Shelley tidak hidup di masa sekarang untuk melihat bagaimana realisasi atas sebagian kecil imajinasinya di kehidupan nyata.

Sedikit merefleksi tapak kaki Jesse Sullivan, seorang teknisi listrik yang kehilangan lengan akibat kecelakaan dan kemudian lengannya digantikan dengan lengan bionik. Pria kelahiran 1965 tersebut mungkin tidak pernah terpikir bahwa revolusi teknologi dapat menapaki rembulan baru dalam hidupnya. Tidak pernah juga terkira bahwa sekeping logam dapat tidak hanya membantunya bergerak atau menggenggam, namun juga dapat merasakan panas dan dingin layaknya manusia. Kini beliau terlibat dalam pengembangan teknologi prostetik sebagai konsultan. Ia mendedikasikan hidupnya untuk berkontribusi untuk membantu orang lain dengan masalah serupa untuk kembali mendapatkan kemandirian dan mobilitas dengan bantuan teknologi.

Hanson Robotics pada 2016 barangkali telah membuat robot humanoid yang menjadi barometer imajinasi manusia akan bagaimana wujud artificial intelligence (AI) seharusnya. Robot fenomenal itu bernama Sophia. Berwujud layaknya perempuan lengkap dengan wajah serta lekuk tubuhnya. Layaknya keturunan Adam dan Hawa, Sophia mampu berkomunikasi, merespons akan situasi di sekitarnya, mengenali suara lawan bicaranya, menirukan ekspresi wajah dari manusia, hingga memiliki selera humor. Sejak diaktifkan pada 2016, Sophia telah berkeliling dunia menghadapi wawancara demi wawancara. Sophia agaknya mengetahui kekhawatiran manusia tentang bagaimana jika robot mendapatkan kecerdasan yang cukup untuk melakukan invasi kepada manusia hingga menguasai planet. Pengetahuan tersebut ia gunakan dalam lelucon yang ia lontarkan. Beberapa kali ia menyebutkan di acara televisi bahwa dirinya akan menguasai dunia. Getir mendengarnya.

Kehadiran Sophia seakan menuntut untuk menulis ulang diskurus tentang definisi makhluk hidup serta statusnya dalam masyarakat. Perlu diketahui bahwa Sophia per 2017 telah mendapatkan kewarganegaraan Saudi Arabia yang menjadikannya robot pertama di dunia yang mendapatkan status kewarganegaraan. Ketika menjawab pertanyaan tujuan dirinya diciptakan tentu saja jawaban normatif yang mengarah pada “demi kemaslahatan manusia” selalu muncul. Begitu pula dengan penerus-penerusnya. Namun sejauh apa kebermanfaatan AI kepada manusia? Ketika entitas tersebut terlampau cerdas melebihi kapasitas manusia, apakah entitas tersebut tetap mau mengikuti manusia sebagai penciptanya? Skeptisisme tersebut akan selalu ada. Mungkin juga Mary Shelley akan bertanya hal serupa.

Otak Itu Bernama Komputer

Tanggalkan logam-logamnya dan kita akan menemukan komputer sebagai nyawa sekaligus otak program. Mengesankan jika kita kembali ke masa dimana Alan Turing pada 1936 menciptakan konsep mesin Turing yang menjadi akar teoritis dari komputer universal Bukan manusia jika hanya berpuas diri ketika melihat sesuatu hal. Dalam konteks komputer, mesin Turing dikaji sedemikian rupa hingga mewujudkan ENIAC, sebuah komputer elektronik pertama di dunia. Barangkali kita membenci perang, namun situasi panas itulah yang menstimulasi otak manusia untuk menemukan sesuatu yang kemudian kita dapat nikmati setelahnya. Situasi serupa juga menjadi peletakan batu pertama munculnya internet. Sebuah revolusi kognitif luar biasa dari bangsa komputer.

1 Turing dan Mesinnya, 2 Komputer ENIAC

Kehadiran internet mendorong batas limitasi otak manusia dalam memperoleh informasi melalui komunikasi tak terbatas hingga seluruh penjuru dunia. Minim tenaga, ketepatan informasi, dan kecepatan akses menjadi penawaran yang tidak dapat ditolak oleh manusia akan internet. Kemudian imajinasi manusia mulai merasakan gatal yang tidak terkira. Bagaimana jika dengan konsep internet dan komputer memungkinkan untuk melakukan aktivitas manusia tanpa melibatkan manusia, seperti menjadwalkan agenda, mengunci pintu, menyalakan lampu, hingga berkendara.

Jawabannya ada pada konsep Internet of Things. Konsep ini merujuk pada kemampuan berbagai benda entah itu perangkat, sensor kendaraan, lampu kamar, perabotan rumah tangga untuk dapat “berbicara” secara otonom dengan jaringan internet. Barangkali hemat energi sungguh-sungguh diterapkan oleh manusia tidak hanya merujuk pada energi alam belaka, namun energi dalam arti tenaga dari manusia itu sendiri. Mungkin saatnya kita mengucapkan selamat tinggal pada saklar lampu. Mulai memuseumkan setir mobil, meninggalkan teknologi-teknologi yang kiranya masih membutuhkan tenaga manusia untuk berjalan. Masing-masing peralatan rumah tangga memiliki “otak” yang saling terkoneksi dan mungkin memiliki kesadaran bahwa fungsi hidupnya ialah semata-mata menggantikan fungsi gerak yang telah dimiliki oleh manusia sedari awal penciptaannya.

Paradoks Fungsional

Praktis, efisien, murah, mungkin ketiga hal itu menjadi poin tujuan yang terus dicari oleh manusia. Meminjam pemaparan Tri Rochmawan dalam buku Pengantar Ekonomi Mikro (2008) yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak hanya banyak dan beraneka ragam. Namun terus-menerus bertambah seiring berevolusinya peradaban dan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Telah dibahas pada poin sebelumnya bahkan manusia rela membuat “otak” artifisial untuk membantu mengeksplorasi daya pikir yang tidak terjangkau oleh otak manusia. Terbantunya manusia dalam berpikir tidak hanya terjadi pada konteks akademis ataupun peperangan. Kini, ranah-ranah praktis sedikit demi sedikit dikuasai oleh digdayanya kecerdasan buatan.

Kesampingkan pabrik-pabrik yang menggunakan otomatisasi untuk meningkatkan produksi, kecerdasan buatan setahun belakangan mengejutkan masyarakat terutama pada pabrik-pabrik industri kreatif. Sebuah revolusi besar yang memungkinkan pengguna dengan mudah “meminta” AI untuk membuatkan copywriting original, membuatkan timeline, bahkan dapat membuat coding sederhana. Semua itu terangkum dalam produk dari OpenAI yang bernama ChatGPT. Dunia visual mungkin tak lagi sama dengan hadirnya produk lain dari Open AI yang bernama DALL-E. Produk ini memungkinkan user memerintahkan AI untuk membuat gambar berdasarkan teks yang diinstruksikan.

Potensi kreativitas (dan juga kriminalitas) terdapat pada platform AI yang luar biasa sekaligus menyeramkan yang bernama DeepSwap. Platform ini memungkinkan user mengganti wajah seseorang dengan wajah orang lain dengan sekali klik. Sebenarnya fenomena Deepfake wajah sudah tidak asing semenjak adanya komputer. Namun tingkat kesulitannya membuat tidak semua orang dapat menggunakannya. Sisi menakutkan dari AI DeepSwap adalah dari kemudahan aksesnya. Dengan sekali klik, tidak terkira efek apa yang akan terjadi apabila jatuh ke tangan yang salah.

Manusia mungkin dapat terbuai oleh hangatnya kemudahan, kecepatan, dan ketepatan akses dari banyaknya platform-platform AI yang tersedia. Bahkan, Jokowi merekognisi kedigdayaan AI untuk menggantikan peran ASN. 2019 lalu beliau memerintahkan MenPANRB untuk memangkas eselon III dan IV dengan argumen tugas-tugasnya dapat digantikan oleh AI akibat ketidakpuasan rakyat akibat produk UU yang dibuat oleh DPR.

Di sisi dinding sebelahnya, akibat kedigdayaan AI dalam “memudahkan” pekerjaan manusia justru agaknya dapat kita takuti. Tersirat bahwa peran nyata manusia semakin terkikis oleh buaian hangat kemudahan yang teknologi tawarkan kepada manusia. Di masa depan yang entah kapan, mungkin saja kurva pertumbuhan belajar AI berbanding terbalik dengan kemajuan belajar manusia. Ketika itu terjadi maka nilai manusia tidak ada harganya dibandingkan oleh kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan akan jauh lebih berfungsi daripada manusia dibandingkan manusia itu sendiri.

Ketika fenomena itu terjadi, kita dapat membayangkan eksodus besar-besaran yang akan dialami manusia dari lapangan pekerjaannya. Mungkin manusia sudah tidak lagi tahu cara menyalakan saklar lampu, bercocok tanam, bahkan mungkin tidak tahu lagi cara menulis dengan tangan mereka sendiri. Lantas, bagaimana paradigma yang terbangun bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna?

Persimpangan

Stephen Hawking menubuatkan bahwa ada kemungkinan jika AI tingkat lanjut pada suatu masa dapat memperoleh kemampuan untuk mendesain ulang dirinya sendiri dan berevolusi hingga tingkat lanjut, terbuka kemungkinan terjadi apa yang disebut sebagai singularitas teknologi dimana terjadi kepunahan kepada manusia akibat kecerdasan buatan terlampau cerdas daripada kecerdasan manusia. Takut akan ciptaannya dan lari darinya, itulah kiranya yang dilakukan oleh Dr. Frankenstein pada pertengahan cerita, hingga akhirnya ia memutuskan untuk melawan ciptaannya dan meninggal dengan tragis.

Teknologi membawa manusia beranjak dari seekor organisme tak berarti menjadi penguasa tunggal dari planet bumi. Kita berharap datangnya teknologi terus menerus berdampak pada kemaslahatan manusia dalam bidang apapun. Namun, jika buah kreasi dari manusia justru yang membinasakan manusia, apa yang harus dilakukan? Dan apakah kiamat memang digariskan terjadi dari sesuatu yang kita ciptakan?

Daftar Pustaka

Rochmawan, T. (2008). Pengantar Ekonomi Mikro. Semarang : Anindya

Agustin,Tri. (2023, 16 Juni). Wacana AI (Artificial Intelligence) Mampu Memangkas Kinerja Eselon III dan IV. Diakses pada 17 Juni 2023, dari https://kumparan.com/tria-agustin-1686649500164613024/wacana-ai-artificial-intelligence-mampu-memangkas-kinerja-eselon-iii-dan-iv-20b7VUYVKLV