Geliat Kegelisahan Kota Budaya, Menyoal Minat Baca Masyarakat Kita

Sudah dua belas tahun berlalu sejak Kompas akhirnya menerbitkan buku berjudul Impian dari Yogyakarta karya Y.B. Mangunwijaya. Buku setebal 306 halaman tersebut berisi tentang kegelisahan Romo Mangun, demikian beliau biasa disebut, terhadap pendidikan. Apakah setelah sekian lama saat perubahan dan globalisasi telah berkembang pesat buku tersebut tidak memiliki relevansinya lagi terhadap dunia pendidikan, masyarakat dan yang terpenting adalah kota Yogyakarta tempat di mana Romo Mangun memulai mendirikan sendiri sekolah eksperimennya di Yogyakarta? Tentu saja tidak.

Pendidikan dan impian sebagaimana yang ada pada saat itu tentunya telah mengalami banyak perubahan. Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota budaya pun mengalaminya. Pendidikan yang sejatinya bertujuan mencerdaskah kehidupan bangsa sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan hal yang bertujuan memerdekakan dan membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik. Ketika impian Romo Mangun akan masyarakat Indonesia yang merdeka pada saat itu akhirnya terkabul maka pada saat ini Indonesia dan masyarakat kota Yogyakarta pada khususnya tengah menghadapi kegelisahan baru akan globalisasidan perubahan makna kemerdekaan manusia dan pendidikan yang lebih kompleks. 

Kemiskinan dan kebodahan adalah dua mata rantai permasalahan yang sejak bangsa kita merdeka masih belum mampu dibenahi dan pada dasarnya bersumber pada satu hal: pendidikan. Konsep pendidikan untuk semua kalangan masih belum bisa diimplementasikan. Padahal dalam lingkup yang lebih luas proses pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman saja, namun diarahkan pula pada pembentukan sikap, perilaku, mental dan kepribadian masyarakat pada umumnya dan peserta didik pada khususnya, mengingat perkembangan era globalisasi saat ini komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak  selalu membawa pengaruh positif. 

Dalam proses globalisasi tidak terlepas dari suatu perubahan, yakni perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Apabila kebudayaan secara umum merupakan suatu rangkaian kepercayaan, nilai-nilai dan gaya hidup dari suatu masyarakat tertentu di dalam eksistensi kehidupan sehari-hari, maka dewasa ini di dalam era globalisasi mulai muncul pula apa yang disebut sebagai kebudayaan global. Kebudayaan global bisa diartikan sebagai modernitas.  Dalam hal ini modernitas mempunyai pengertian masyarakat modern, gaya hidup modern, ekonomi modern, dan pendidikan modern.

Kaitan antara globalisasi dan pendidikan terletak di dalam lahirnya suatu masyarakat baru yaitu “knowledge-based-society” yang merupakan anak kandung dari proses globalisasi. Karena globalisasi, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat yang merupakan dasar dari globalisasi ekonomi dan politik di dunia ini. Namun demikian suatu “knowledge-based-society” yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan akan terus-menerus berubah dan merupakan subyek untuk revisi. Hal ini memerlukan apa yang disebut sebagai sikap reflektif dari manusia yaitu kemampuan untuk merenungkan mengenai kehidupannya berdasarkan rasio.

 

Di lain pihak datangnya globalisasi dan perubahan yang cepat menawarkan begitu banyak hal yang sulit sekali dibendung dalam tataran kemasyarakatan dan budaya. Manusia cenderung untuk lebih memilih menikmati hasil siap pakai dari teknologi: games, social media, payment transactiondan beragam kemudahan digital lainnya dan sekaligus tanpa sadar telah ‘membiasakan’ diri melanggar batas-batas nilai dan budaya yang ada. Seberapa banyak dari kita yang mempergunakan waktu luang menunggu sambil mengeksplorasi lebih lanjut akan kebutuhan untuk terus belajar. Di sinilah kehadiran dan peran buku baik cetak maupun digital sangat diperlukan. Ia seharusnya tidak lagi menjadi momok atau barang usang perubahan jaman, melainkan sebagai jendela pengetahuan, sumber informasi dan pelita bagai mercusuar di tengah malam gelapnya perubahan. Buku adalah sumber dan dasar perenungan manusia akan kehidupannya.
Dulu sekitar 20 tahun kita memang masih bisa membanggakan diri terhadap dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan negara-negara tetangga ASEAN seperti Malaysia dan Brunei Darussalam dalam menuntut ilmu dan belajar di bangsa kita dengan cara mereka mengirimkan mahasiswanya untuk belajar dengan dibiayai oleh pemerintah masing-masing. Namun kenyataannya sekarang mereka justru lebih maju dalam segala bidang. Yang menyebabkan hal tersebut adalah karena kebiasaan dan budaya membaca dari bangsa kita saat ini yang masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Di lain pihak datangnya globalisasi dan perubahan yang cepat menawarkan begitu banyak hal yang sulit sekali dibendung dalam tataran kemasyarakatan dan budaya. Manusia cenderung untuk lebih memilih menikmati hasil siap pakai dari teknologi: games, social media, payment transactiondan beragam kemudahan digital lainnya dan sekaligus tanpa sadar telah ‘membiasakan’ diri melanggar batas-batas nilai dan budaya yang ada. Seberapa banyak dari kita yang mempergunakan waktu luang menunggu sambil mengeksplorasi lebih lanjut akan kebutuhan untuk terus belajar. Di sinilah kehadiran dan peran buku baik cetak maupun digital sangat diperlukan. Ia seharusnya tidak lagi menjadi momok atau barang usang perubahan jaman, melainkan sebagai jendela pengetahuan, sumber informasi dan pelita bagai mercusuar di tengah malam gelapnya perubahan. Buku adalah sumber dan dasar perenungan manusia akan kehidupannya.Dulu sekitar 20 tahun kita memang masih bisa membanggakan diri terhadap dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan negara-negara tetangga ASEAN seperti Malaysia dan Brunei Darussalam dalam menuntut ilmu dan belajar di bangsa kita dengan cara mereka mengirimkan mahasiswanya untuk belajar dengan dibiayai oleh pemerintah masing-masing. Namun kenyataannya sekarang mereka justru lebih maju dalam segala bidang. Yang menyebabkan hal tersebut adalah karena kebiasaan dan budaya membaca dari bangsa kita saat ini yang masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Terkait dengan kebiasaan dan budaya membaca maka buku-buku seperti apa yang dibutuhkan masyarakat pada saat ini? Saat ini memang banyak buku yang bertema pendidikan. Namun kebanyakansemuanya ditulis dengan bahasa ilmiah sehingga pangsa pasarnya tentu saja hanya terbatas pada kaum akademisi seperti guru, dosen dan mahasiswa. Dengan demikian cakupannya belum mencapai kalangan masyarakat umum lain seperti orang tua ataupun siswa remaja. Sayangnya bisa dikatakan belum banyak buku bertema itu yang ditulis dengan kebutuhan bahasa penyajian yang lebih sederhana, mengalir dan mudah dimengerti oleh kalangan di luar akademisi tapi tetap sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dan harus dikemas dalam tampilan yang menarik.

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Minat membaca di Indonesia ternyata masih mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta orang, maka jumlah buku yang beredar setiap tahun sejumlah 36.000.000 eksemplar. Dapat diasumsikan, satu buku dikonsumsi oleh 6 sampai 7 orang dalam setahun. Menurut Kepala Badan Perpustakaan & Arsip Daerah (BPAD) Pemda DIY, Budi Wibowo SH, MM dalam penuturannya pada saat penyelenggaraan kegiatan Festival Buku Indonesia oleh BPAD, 25 Juni - 3 Juli 2014 di Gedung Mandala Bakti Wanitatama, Yogyakarta yang lalu, saat ini Yogyakarta memiliki minat baca yang masih rendah yaitu 0.049, dari 1000 orang yang membaca buku hanya 49 orang saja.

Kepala Badan Perpustakaan & Arsip Daerah (BPAD) Pemda DIY, Budi Wibowo SH, MM mengungkapkan program gerakan Minat Baca yang digadang Pemda DIY masih direspon rendah. Ia menerangkan, baru 2 kabupaten saja yang menanggapi program sadar minat baca tersebut. Menurutnya, sebagai kota Pelajar, pentinglah bila minat baca seperti ini terus digalakkan agar kualitas generasi penerus bangsa semakin baik. Kegiatan festival dan pemeran buku yang diadakan selama ini adalah dengan tujuan agar minat baca dan kelesuan aktivitas penerbitan paling tidak dapat dicover dengan aktivitas semacam ini dan tentunya upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa pun akan teraih.

Ada beberapa langkah sederhana yang sesungguhnya dapat meningkatkan minat baca masyarakat yang tentunya membutuhkan dukungan penuh dan berkelanjutan dari semua elemen masyarakat dan pemerintah, sebagai contoh antara lain: penjualan buku murah dan berkualitas dalam pameran-pameran buku, pembagian buku-buku gratis bekerja sama dengan taman bacaan-taman bacaan masyarakat berserta sosialisasi gerakan membaca bersama, pengadaan buku-buku bacaan, pemberian ceramah, bimbingan serta pelatihan bagi anak-anak panti asuhan, karang taruna, dan masyarakat, dan penggiatan kembali mobil perpustakaan keliling. Perlu dipikirkan juga beberapa solusi terkait lapisan masyarakat yang bekerja dari pagi sampai dengan sore sehingga hanya memiliki waktu luang sore sampai dengan malam hari. Agaknya mungkin perlu diusulkan program perpanjangan jam bukalayanan perpustakaan daerah dan perpustakaan kota yang dapat melayani peminjaman, pengembalian, dan pembacaan buku di tempat hingga malam hari serta diadakannya program reward/penghargaan bagi para pembaca buku yang telah sering aktif meminjam bukunya hingga angka tertentu.

Jika buku baik cetak dan digital tidak bisa memberikan jawaban akan perubahan kondisi-kondisi pendidikan dan sosial budaya di masyarakat saat ini dengan cepat, sederhana, lugas, tegas dan tepat maka bisa dipastikan suatu “knowledge-based-society” yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan tadi hanya akan menjadi sekedar wacana dan guyon belaka. Membeli buku bolehlah sebagai suatu kebiasaan tetapi mengkritisi isi buku dan menumbuhkan budaya membaca adalah hal lain yang berbeda. Semoga semua elemen masyarakat kota Yogyakarta sebagai kota budaya dan semua pihak-pihak yang terkait dalam usaha penerbitan dan pengadaan buku bagi masyarakat dapat melihat dan menyikapi tantangan globalisasi ini. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi. Budaya membaca adalah tanggung jawab kita bersama.