Dharma Seorang Isteri : Ibu, Sahabat, dan Kekasih

Seorang perjaka yang huidupnya mulai mapan, sedang memikirkan sosok calon isteri yang ideal. Bertumpuk literature yang pernah disantapnya ketika kuliah dan sejumlah pelatihan yang pernah diikutinya, tak satupun yang dapat memberinya panduan tentang bagaimana memilih sosok isteri yang ideal. Di antara kesibukannya, suatu kali dia bicara dari hati kehati kepada ibunya. Ia utarakan keinginannya untuk segera menikah, namun dia bingung, perempuan macam apa yang baik untuk diperisteri. Si ibu, dengan segala pengalamannya tentang asam garam kehidupan,mulai bicara panjang lebar mengenai perempuan yang baik untuk dijadikan isteri. Di penghujung pembicaraan sang ibu menandaskan kalimat simpulan: “Camkan anakku, perempuan yang baik itu memiliki tiga sifat utama, yaitu hemat di dapur, merangsang di ranjang dan anggun di muka umum. Nah carilah perempuan mana saja yang kau suka, asal dia punya tiga sifat tadi, Insya Allah hidupmu akan bahagia, dan ibu pun akan senang punya menantu seperti itu”.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya si perjaka mencari perempuan dengan kulifikasi : hemat, merangsang, dan anggun. Akhirnya ditemukanlah wanita dengan kualifikasi macam itu. Proses peminangan hingga pernikahan berjalan lancar. Semua keluarga gembira, ibunya tampak bahagia, dan tentu saja kedua mempelai berbunga-bunga. Karena rumah baru sudah disiapkan segera setelah acara pernikahan kedua  mempelai langsung menempati rumah baru mereka.

Kehidupan terus berjalaan, setiap orang memiliki kesibukan. Meski sibuk, acara silaturahmi menengok ibu senantiasa dilakukakan oleh pasangan pengantin baru itu , setidaknya sekali setiap minggu. Namun, mulai kunjungan keempat, si isteri tidak ikut serta. Si ibu betanya, tetapi dijawab anaknya bahwa si isteri sedang kelelahan. Tetapi pada kunjungan minggu berikutnya, si isteri tak pernah lagi hadir bersama suami menengok sang ibu. Lama-kelamaan, si ibu mulai curiga, lalu dia betanya: ”Mengapa isterinu tidak pernah lagi kau ajak ke sini? Apakah kalian sedang ada masalah? Bolehkah ibu tahu masalah kalian? Dengan tertunduk lesu, dia menjawab: ” Yaa… ibu benar, saya kecewa berat pada isteriku, bu!”, “Loh” Tukas ibunya, “bukankah isterimu itu kau pilih sendiri? Ibu hanya memberimu kriteria, soal pilihan terserah kamu, kan? Memangnya kenapa isterimu? Tidak hemat? Tidak merangsang? Tidak anggun?”

Hening. . . tak ada suara. Ibu dan anak sama-sama tercenung. Dengan menghela nafas dalam-dalam, akhirnya si anak berkata: “Bu, sebenarnya isteriku memiliki tiga sifat yang ibu bilang itu”. “Nah”, sahut ibunya, “apalagi kekurangan isterimu? Suami jangan terlalu banyak menuntut! Tidak adil! Syukur iapa yang isterimu miliki dan berikan kepadamu. Jangan Nyinyir!” Maaf, bu, saya belum selesai bicara”, kata anaknya. “tiga sifat yang ibu idealkan itu semuanya ada pada dia. Hanya saja, salah tempat!” “Salah tempat …? Apa maksudmu?, desak ibunya. Dengan agak terbata anaknya meneruskan pembicaraan: ”Isteriku itu anggun di dapur, hemat di ranjang, dan merangsang di muka umum…!, “Haah…?”, pekik ibunya bagai disambar geledek.

Lepas dari kekonyolan peristiwa tadi, sebenarnya pandangan “Sang Ibu” tadi tentang perempuan masih stereotype lama, bahwa wanita itu hanya berperan di seputar dapur, ranjang, dan menjadi “barang pajangan”. Itulah mengapa, acapkali masih terdengar orang berbicara bahwa perempuan itu urusannya hanya berkisar dapur (memasak), sumur (mencuci), pupur (bersolek), dan kasur (melayani kebutuhan sex). Ada  lagi sementara orang yang mengatakan bahwa peran pokok perempuan itu tidak lain adalah masak (memasak), macak (bersolek), dan manak (melahirkan anak). Sampai batas tertentu, peran-peran itu memang tidak hanya dimainkan oleh perempuan, oleh isteri, tentu tidak benar! Karena ternyata, bukan hanya itu saja yang dibutuhkan dan didambakan oleh suami. Ada hal-hal yang lebih utama yang dibutuhkan suami. Lantas apa yang sesungguhnya didambakan seorang suami atas isterinya?

Marilah bertamasya sejenak ke dunia wayang. Dalam dunia perwayangan, tersebutlah tokoh besar dalam Epos Mahabharata, yaitu Arjuna . Arjuna adalah lelaki ketiga dalam keluarga Pandawa. Ia tampan, sakti mandraguna, disegani musuh, dimanjakan para dewata, dan diimpikan oleh hampir setiap wanita! Akibatnya sering digambarkan bahwa isteri Arjuna begitu banyak, bukan hanya umat manusia saja yang terpikat kepadanya, bahkan Dewi Setyoboma (anak Dewa Brahma) pun tergila-gila kepadanya. Tak heran bila Arjuna sering diberi predikat sebagai “lananging jagad” , artinya “lelakinya dunia”. Namun demikian, dari berbagai versi tentang kegagahan dan kejantanan Arjuna, sesungguhnya isteri utama Arjuna yang berwujud manusia hanya tiga orang, yakni Sumbadra, Srikandi, dan Larasati.

Ketiga wanita itu masing-masing memiliki sifat yang khas dan menonjol. Sumbadra merupakan sosok wanita yang sabar, lembut, dan keibuan. Srikandi itu sosok yang cerdas, lincah, kreatif, pemberani, dan problem solver karena tiap kali Arjuna pergi bertapa, Srikandilah yang menjadi manajer seluruh urusan istana Arjuna. Larasati adalah sosok yang cantik jelita, hangat, romantic, dan pecinta yang ulung. Nah itulah mengapa Arjuna benar-benar bahagia memiliki ketiga isteri itu sekaligus! Apakah dengan demikian lelaki yang benar-benar bahagia harus beristeri  3 seperti Arjuna? Haruskah para suami beristeri dua atau tiga? Adakah isteri yang begitu berlapang dada dan bermurah hati dimadu? Siapkah seorang isteri dengan ikhlas menuangkan “bara” di dadanya sendiri? Lalu hikmah apa yang dapat kita petik dari kisah hidup Arjuna? Wayang itu simbol, dan kita harus pintar menafsirkannya sehingga dapat kita petik kearifan dari kisah-kisahhnya.

Lelaki yang bahagia bukanlah mereka yang beristeri dua, tiga, atau lebih, melainkan cukup beristeri satu dengan tiga watak utama masing-masing isteri Arjuna itu. Ketahuilah, meski tampaknya lelaki itu hebat, perkasa, menjadi panglima di medan laga kehidupan, menjabat sebagai Kepala Rumah Tangga, tetapi sesungguhnya dia manusia biasa yang sama seperti perempuan. Di saat dia sakit, lemah badannya, sedih hatinya, tertekan perasaanya entah karena pekerjaan atau sebab lain, pada saat itulah dia merindukan sentuhan kasih sayang ibunya semasa kanak-kanak dahulu yang pernah dinikmatinya, kesabaran, belaian kelembutan, dan kesejukan. Dia butuh kehadiran sosok sifat-sifat “Sumbadra”. Di saat seperti itulah, isteri harus menjadi Sumbadra: membelainya, menyejukkan hatinya, memberinya sentuhan kesabaran dan memberinya kekuatan. Jadi, pada saat seperti ini isteri menjadi “IBU” bagi suaminya.

Apabila suami sedang punya ide-ide besar, atau barangkali memerlukan teman diskusi, bahkan meminta saran kepada suami  mengenai tugasnya, maka isteri harus tampil sebagai Srikandi: cerdas, kreatif, dan siap membantu suami, bila memang diperlukan. Ya … sebatas memberi masukan dan bantuan secara proporsional. Jangan pula isteri kebablasan menjadi “atasan” atau bahkan menjadi “majikan” bagi suaminya. Akibatnya, sering kali terdengar orang mengolok: “kalau si suami Direktur, isterinya biasanya berlagak bak Dirjen. Kalau si suami Dirjen, isterinya biasanya berlagak laksana Menteri, dan kalau suami Menteri lagak isteri bagaikan Presidennya!” Nah, agar olok-olok seperti itu tidak muncul , isteri hendaknya menjaga betul agar perannya sebagai pendamping suami benar-benar membantu secara proporsional, dan tidak membebani tugas suaminya. Pendek kata, hendaknya para isteri jangan hanya “merasa bisa”, tetapi juga harus “bisa merasa”. Pada saat seperti inilah, isteri menjadi “sahabat” bagi suaminya.

Dan, … jangan lupa ketika panah asmara sedang menghunjam dada suami, maka segeralah isteri menjadi Larasati: hangat, romantis, dan menggoda. Isteri seyogyanya dengan cekatan menggandeng suaminya mengarungi samudera asmara. Pada saat seperti inilah isteri menjadi “kekasih” bagi suaminya. Itulah dharmanya wanita, perempuan, isteri, yakni menjadi “IBU”, “SAHABAT”, dan “KEKASIH” sekaligus bagi suaminya.

Isteri yang ideal adalah yang dalam dirinya bersemayam kepribadian “Sumbadra, Srikandi, dan Larasati” secara seimbang, laksana simbol Mobil Mewah, sebuah lingkaran yang terbagi dalam tiga bidang yang sama. Akan tetapi harus disadari, bahwa tidak ada perempuan yang sempurna, boleh jadi seseorang lebih menonjol aspek Srikandinya, lemah Sumbadranya, atau Larasatinya. Begitu sebaliknya. Itulah seorang perempuan harus berupaya dan pandai menjaga ketiga sifat itu harus ada semuanya di pribadinya dan harus imbang, jangan sampai ada yang kosong (NOL). Jika itu terjadi  maka mala petaka akan terjadi, dan dalam pewayangan disebut “perang besar” Bharatayudha” Naudhubikamindzalik!!!.                                                            

 

Desember 2012

(Tugini Trihayati)                                  

Disarikan dari tulisan Joko Pitoyo