BUNG TOMO (SUTOMO)

Belum lama kita merayakan Hari Ulang Tahun Negara Indonesia yang ke-73. Betapa kita merasakan indahnya kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan yang rela mati demi negara Indonesia. Salah satu tokoh pejuang yang memiliki jiwa heroik, dia yang membangkitkan semangat juang pasukannya yaitu Bung Tomo. Siapa yang tidak mengenal sosok beliau, ia yang dikenal dengan pidato-pidatonya yang menggelora terutama pada pertempuran di Surabaya. Sosok kepahlawanan beliau berhak untuk kita teladani sebagai salah satu tokoh pejuang nasional dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. "Merdeka atau Mati!", 3 kata itu yang teringat dalam benakku saat seseorang menyebut nama Bung Tomo. Bung Tomo dengan orasi-orasinya yang bisa membangkitkan semangat rakyat untuk melawan penjajah, membuat dirinya menjadi idola para mahasiswa pada masa itu dan membuat dirinya dikenang hingga sekarang.

Bung Tomo memiliki nama asli Sutomo lahir di Kampung Blauran di pusat kota Surabaya. Sutomo dibesarkan dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan. Namun, pada saat usia 12 tahun ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO. Bung Tomo memiliki semangat belajar yang sangat tinggi, beliau menamatkan sekolah tingkat dasar di Hollandsch Inlandsch School. Bung Tomo melanjutkan sekolahnya di Hogere Burger School. Setelah kemerdekaan, di umurnya yang ke 39 tahun, beliau baru memulai kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Namun sayangnya beliau belum sempat lulus kuliah, karena beliau meninggal saat wukuf di arafah pada 7 Oktober 1981

Awal mula perjuangan beliau dimulai, ketika itu pada tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang. Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober.

Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana. Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat.

 

 

Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945. Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya.  Pada 10 November 1945 pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan penduduk dari berbagai bagian kota Surabaya.

Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama serta kiyai-kiyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum, selain itu juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris. Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Begitulah perjuangan Bung Tomo dan para pahlawan kemerdekaan, ia menjadi salah satu pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya yang ketika itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris. Kejadian ini dicatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Kemerdekaan Negara Indonesia. Bung Tomo dikenang dengan seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radio yang penuh dengan emosi.

Gelar Sebagai Pahlawan Indonesia akhirnya diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.