Apersepsi dalam kegiatan pembelajaran

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat besar dalam  pelaksanaan pembelajaran selama satu tahun belakangan ini. Peralihan  pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran daring/online menimbulkan  beberapa permasalahan. Permasalahan yang paling sering muncul adalah masalah  sarana prasarana atau ketersediaan jaringan internet dan quota data yang tidak  merata. Salah satu upaya dalam  mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengkolaborasikan metode komunikasi synchronous dan asynchronous atau dikenal dengan istilah metode  komunikasi hybrid. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan.  Penentuan jenis metode komunikasi yang digunakan dipengaruhi oleh beberapa  faktor antara lain konsumsi kuota data, kemudahan penggunaan, dan kondisi  infrastruktur jaringan

Permasalahan lain dalam pembelajaran daring adalah kurangnya kontrol  guru terhadap peserta didik selama proses kegiatan pembelajaran berlangsung.  Salah satu kelebihan sekaligus menjadi kelemahan dalam pelaksanaan  pembelajaran daring adalah tidak terikatnya jarak dan waktu. Menjadi sebuah  kelemahan karena menimbulkan kurangnya kontrol guru terhadap peserta didiknya  selama pembelajaran. guru tidak bisa memastikan bahwa semua peserta didik  mengikuti pembelajaran dengan serius dan tidak disertai dengan kegiatan lain. Kegiatan monoton selama pembelajaran juga menimbulkan kebosanan di tingkat  peserta didik.

Artikel ini akan membahas bagaimana menciptakan pembelajaran yang menarik dengan memulai kegiatan awal yang menarik minat belajar peserta didik. dalam teori pembelajaran kegiatan awal dalam pembelajaran sering disebut sebagai apersepsi. Berangkat dari pengalaman saya sebagai seorang guru atau pendidik, saya akan mulai bercerita tentang pengalaman di kelas saat memulai sebuah kegiatan pembelajaran. Sebagai seorang sarjana pendidikan lulusan IKIP terkemuka di Yogyakarta, tahun 1989 saya memantapkan diri untuk mengabdi sebagai seorang guru di Kota Surabaya, berbekal Ijazah Sarjana pendidikan Matematika saya mendaftarkan diri pada sebuah sekolah swasta terkenal di Surabaya, dan saya sangat bersyukur karena saya diterima sebagai guru baru disekolah tersebut. Awal-awal menjadi guru muda di sebuah sekolah swasta terkenal, saya selalu menyiapkan diri dengan baik untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik. Kedatangan saya di sekolah tersebut disambut dengan suka cita oleh sesama teman guru, mengingat saat itu saya satu-satunya guru muda. Tugas pertama mengajar langsung disampaikan oleh kepala Sekolah. Saya diminta mengajar di kelas A. Saya terima tugas itu dengan suka cita. Selesai dari ruang kepala sekolah saya masuk ke ruang guru, dan biasa terjadi ada pertanyaan-pertanyaan dari kawan-kawan guru lain, saya ditempatkan mengajar di kelas berapa, saya jawab bahwa saya diminta untuk mengajar di kelas A. Sekejap ruangan menjadi sunyi, sejenak berikutnya menjadi riuh, saya jadi sedikit agak bingung, dengan suasana ruang guru yang seperti itu. Salah satu guru yang saat itu dianggap sebagai guru senior mencoba memahamkan saya terkait dengan kelas A, Si guru senior ini bercerita bahwa kelas A adalah kelas spesial. Guru yang dapat menaklukan kelas A pasti mendapat acungan jempol dari semua civitas guru yang ada di sekolah tersebut. Saya mencoba menenangkan hati supaya tidak kelihatan gugup dan gelisah di hadapan teman-teman guru di ruang itu. Saya mulai bertanya apakah ada guru di sekolah ini yang bisa menaklukkan kelas A. Serempak guru-guru yang ada ruang guru tersebut menjawab tidak ada, mereka mengatakan kami guru-guru lama yang mengajar di kelas A hanya sekedar masuk kelas menyampaikan materi, masalah mereka (para peserta didik) mau mendengarkan atau tidak itu urusan mereka. Saya kaget dan terhenyak, Sebagai seorang guru muda pastilah saya membawa idealisme dari kampus dan tentunya masih hangat di kepala dengan konsep-konsep teori pendidikan.Slogan Humaniora yang dulu selalu menempel di kepalaku saat masih menjadi mahasiswa selalu terngiang terus. Saat itu saya berjanji dalam hati saya akan mengajar dengan konsep humaniora, “menjadikan peserta didik manusia bukan objek atau barang tapi mereka menjadi subyek.

Waktu berjalan tibalah saatnya saya harus mengajar dikelas “neraka” menurut teman-teman guru, saya melangkah dengan mantap masuk ke kelas A dengan membawa berbagai persiapan yang sudah saya buat. saya mulai masuk ke ruang kelas dan memulai mengajar dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman menarik saya saat menjadi siswa sekolah maupun saat saya tinggal di Jogja sebagai mahasiswa.Saat itu saya membawa benda-benda kerajinan produk khas Yogyakarta yang aku bawa dan aku letakkan diatas meja guru, aku menatanya di meja sambil memberikan pertanyaan pada peserta didik, “Siapa yang pernah datang ke Yogyakarta?”, “Tempat-tempat menarik mana yang sering dikunjungi?”, “Kerajinan tangan seperti yang di meja ini bisa ditemukan dimana saja ketika kita ke Yogyakarta?”. Demikian saya mengawali kegiatan pertama saya sebagai guru muda yang diserahi tugas mengajar dikelas “Neraka”. Saya berusaha merebut perhatian siswa terlebih dahulu, dengan cara membawa alat-alat pembelajaran yang saya taruh di meja sembari memberikan beberapa pertanyaan-pertanyaan untuk memancing respon peserta didik. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya ketika saya mengawali dengan pembelajaran seperti itu pasti nanti kelas akan menjadi ramai, bersemangat, dan tentunya akan memunculkan energi positif dari setiap siswa. Satu poin sudah masuk, saya berpikir strategi untuk membuat suasana kelas ramai dan hangat sudah tercapai. Saya semakin memantapkan diri untuk meneruskan kegiatan pembelajaran di kelas A, waktu 45 menit pertama saya habiskan bersama para peserta didik dengan kegiatan diskusi sambil “guyon” untuk membangun suasana keakraban. Masih tersisa waktu kurang 15 menit selesai pembelajaran saya baru memulai masuk materi pembelajaran dan itu baru materi yang ringan-ringan, hingga sampailah pada ganti pelajaran. pembelajaran saya tutup dengan ucapan “Terima kasih kawan-kawan, hari ini kita telah bersama-sama bermain dengan seru, saya berharap besok kita bisa bermain yang lebih seru lagi ya?”, sontak mereka menjawab dengan serempak, “Siap, Terima kasih mas?”.  Itulah pengalaman pertamaku saat aku pertama kali menjadi guru muda di sebuah sekolah swasta terkenal di Surabaya dan mengajar di kelas “Neraka”, yang oleh teman-teman guru menyebut, tapi bagi saya kelas A adalah benar-benar kelas yang spesial dan hari-hari berikutnya saya selalu merindukan ingin mengajar di kelas tersebut.

saya berharap dengan apa yang saya ceritakan diatas akan memperjelas inti dari bahasan yang ada dalam artikel ini, yaitu membahas tentang apersepsi. Apersepsi merupakan sebuah teknik yang penting diterapkan  dalam pembelajaran. Apersepsi penting diterapkan dalam  pembelajaran, baik dalam pembelajaran tatap muka maupun pembelajaran daring seperti sekarang ini. Kegiatan apersepsi dapat digunakan sebagai  kontrol terhadap jalannya pembelajaran. Namun, seringkali para guru  melupakan kegiatan ini, terlebih lagi dengan berbagai platform media jika para guru harus menyelenggarakan pembelajaran daring.

Apersepsi selalu dikaitkan dengan kegiatan awal pembelajaran. Apersepsi  berasal dari kata apperception yaitu menafsirkan buah pikiran. Proses apersepsi  melibatkan proses menggabungkan atau mengasimilasikan pengamatan oleh  pancaindra dengan pengalaman yang telah dimiliki. Sehingga, dalam pembelajaran  apersepsi mempunyai fungsi sebagai pengantar pembelajaran. Apersepsi juga  termasuk dalam proses berpikir, yaitu proses menanggapi rangsang yang telah  diberikan kemudian ditafsirkan dan diolah dalam suatu susunan kategori (Nasution,  2010). Apersepsi merupakan proses menghubungkan apa yang telah mereka  ketahui dengan apa yang akan dipelajari, serta proses membawa dunia mereka (kondisi mental dan fisik) memasuki dunia kita (kegiatan pembelajaran).

Kembali kita lihat dalam contoh pengalaman saya di atas, dalam teori psikologi belajar, saya sebagai guru muda telah menggunakan apersepsi untuk peserta didik saya.cara berfikir saya saat itu bahwa hak mengajar itu ada di tangan peserta didik, buka ditangan saya sebagai guru. Apabila peserta didik sukarela memberikan hak mengajar tersebut kepada saya, pastilah saya akan diterima oleh peserta didik ketika proses pembelajaran berlangsung. hal yang sangat penting untuk diketahui adalah hak mengajar harus direbut oleh guru. Guru harus pro aktif untuk memperoleh hak tersebut. Artinya hak mengajar tidak secara otomatis diberikan oleh para siswa tersebut kepada para guru. Lalu, bagaimana para guru dapat memperolehnya? Menurut saya, jawaban yang tepat adalah dengan cara menggunakan apersepsi. Jika guru memahami apersepsi, maka hak mengajar dari peserta didik akan mudah didapatkan.

Orang pertama yang mengenalkan Teori Apersepsi adalah Johann Friedrich Herbart (1776-1841). Herbert yang berasal dari Jerman adalah seorang psikolog, filsuf dan juga seorang guru yang ahli.Pemikirannya yang mengagumkan dia kembangkan pada masalah-masalah pendidikan. Pemikiran tersebut kemudian dikenal dengan nama Teori Apersepsi atau Teori Herbartisme. Awalnya herbart juga merasakan bahwa interaksi antara guru dan peserta didik terjadi proses yang sangat dinamis dan kompleks sehingga sulit dijelaskan secara sederhana. inilah salah satu alasan banyak proses belajar yang bermuara pada kegagalan belajar peserta didik.Filosofi mendasar pandangan Herbert tentang Teori Apersepsi mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar. Sifat dasar manusia adalah memerintah dirinya sendiri, lalu melakukan bereaksi atau bereaksi terhadap instruksi yang berasal dari lingkungannya, jika dia dibekali oleh dorongan atau rangsangan khusus. Apabila semua guru memahami konsep bahwa setiap individu atau manusia adalah makhluk pembelajar maka akan muncul paradigma yang menyatakan bahwa para peserta didik didalam kelas adalah mahluk para mahluk yang sebenarnya siap untuk belajar.

Sifat dasar kedua dari seorang individu adalah memerintahkan dirinya sendiri, belajar dari pengalaman pertama saya ketika menjadi guru muda, apabila saat itu saya berusaha sekuat tenaga dan pikiran apapun agar dapat mengajar dengan baik, berusaha memberikan instruksi yang harus dikerjakan oleh peserta didik, namun sampai saya frustasi karena mereka malas untuk melakukan instruksi saya ketika mengajar di kelas, pertanyaannya, apa kemungkinan yang terjadi dengan kesalahan proses pembelajaran yang saya lakukan?. Jawabnya karena saya tidak mengaplikasikan kegiatan apersepsi saat mengajar. Sebaliknya, jika saya rajin menerapkan apersepsi, peserta didik mau melakukan instruksi apapun dengan cepat. Peserta didik bahkan menganggap intruksi itu berasal dari rasa ingin tahu yang ada dalam dirinya sendiri. Ingat bahwa Secara alamiah manusia punya kemampuan memerintahkan kepada dirinya sendiri untuk melakukan  sesuatu, yang berasal dari rangsangan dan kualitas informasi yang masuk ke dalam otaknya. Sebagai konsekuensi fungsi mendasar organ manusia itu sendiri, yang dinamakan otak.

Berikutnya sifat dasar ketiga dari seorang manusia adalah akan bereaksi terhadap instruksi yang berasal dari lingkungan nya jika dibekali dorongan atau stimulus. Untuk membahas sifat dasar yang ketiga ini saya akan memulai dengan cerita berikut ini. Ada dua orang guru di sebuah sekolah. Mereka mengajarkan materi yang sama dengan menggunakan strategi pembelajaran yang sama pula, namun, keduanya mendapatkan hasil mengajar yang berbeda. Guru pertama memperoleh antusiasme dari peserta didik saat melaksanakan instruksinya sedangkangkan guru kedua hanya mendapatkan sikap acuh tak acuh dari para peserta didiknya, yang malas melakukan instruksi pembelajaran. mengapa ada dua kondisi yang berbeda padahal strategi yang digunakan sama? Ternyata, jawabannya sederhana. Guru pertama melakukan stimulasi khusus kepada para peserta didiknya dengan mengatakan bahwa aktivitas pembelajaran yang dilakukan akan didokumentasikan dalam bentuk rekaman video dan foto, kemudian setiap peserta didik yang menemukan inti permasalahan akan diberikan penghargaan.Sementara guru yang kedua sama sekali tidak melakukan stimulus atau dorongan.

Pada Intinya menurut hemat saya, dengan melakukan apersepsi, Guru dapat lebih memastikan jika peserta didik sudah siap dalam menerima pembelajaran. Ketika peserta didik masuk ke dalam kelas belum tentu di benaknya itu di kelas atau atau sedang belajar. Bisa jadi di kelas, di pikirannya masih ada bermain game, bermain bersama temannya, chatting dengan teman-temannya di Group WA atau waktu yang dihabiskan pada saat istirahat di luar kelas. Untuk membawa pikirannya fokus kembali kepada materi ajar tentunya Guru harus memiliki strategi dalam menarik perhatian peserta didik. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan Guru dalam melakukan apersepsi di dalam kelas, diantaranya sebagai berikut:

  1. Menampilkan sebuah video yang berkaitan dengan materi. Selain menarik perhatian dari peserta didik, cara ini juga dapat menimbulkan empati kepada peserta didik sehingga mereka lebih termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran. Jika peserta didik telah memiliki empati akan materi maka Guru akan lebih mudah dalam menyampaikan materi kepada peserta didik.
  2. Membuat kuis singkat. Cara ini dapat digunakan dalam apersepsi. Kuis ini dilakukan dengan bantuan aplikasi teknologi seperti Kahoot supaya lebih menarik minat peserta didik.
  3. Bernyanyi. Biasanya ini dilakukan di kelas TK atau kelas 1-2 tetapi hal ini bisa juga dilakukan di kelas-kelas besar seperti memutarkan lagu yang berkaitan dengan materi ajar. Contohnya di kelas Bahasa Inggris, dengan memutarkan sebuah lagu dalam Bahasa Inggris yang menarik buat mereka, maka peserta didik akan merasa tertarik untuk dapat mengetahui arti dari lagu tersebut dan secara tidak langsung akan memunculkan motivasi dalam diri mereka dalam belajar.
  4. Permainan (Games).Apresiasi dapat juga dilakukan dengan sebuah Permainan sederhana yang sebisa mungkin dapat memunculkan kreativitas peserta didik. Untuk Games, Guru harus memperhatikan waktu yang tersedia supaya tidak mengganggu waktu penyampaian materi yang lain. Banyak sekali Games sederhana yang dapat dilakukan untuk membuat peserta didik fokus. Contoh: Guru :” Letakkan jari telunjuk kalian pada telapak tangan temannya. Saat Bu guru mengucapkan kata apel, tangkap jari telunjuk temannya.”
  5. Membuat Yel-Yel. Guru dapat menciptakan sebuah Yel-Yel yang membuat peserta didik lebih termotivasi, Yel-yel harus dibuat sekreatif mungkin sehingga dapat menjadi ciri khas dari kelas yang diajar. Cara ini cukup mudah dilakukan dan akan mudah dalam menarik perhatian dari peserta didik.
  6. Menggambar/Menulis. Guru dapat meminta peserta didik menggambar/menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan materi ataupun hal lain yang sekiranya berkaitan dengan pendidikan. Salah satu contohnya, Guru meminta peserta didik untuk menggambarkan benda yang menggambarkan dirinya dalam waktu maksimal 3 menit dan setelah itu Guru meminta peserta didik untuk menjelaskan apa yang dia gambar. Hal yang sama juga dapat dilakukan dalam menulis.

Ada sebuah pertanyaan “Apakah Apersepsi harus berkaitan dengan materi”? dari beberapa sumber yang penulis pelajari pada dasarnya tidak semua apersepsi itu berkaitan dengan materi, bisa juga apersepsi yang berkaitan pendidikan karakter. Salah satu contohnya untuk pelajaran Komputer, mungkin Guru akan sedikit mengalami kesulitan dalam mencari apersepsi yang berkaitan dengan materi tetapi hal ini bisa disiasati dengan menampilkan Video yang menunjukkan kebaikan, hormat terhadap orang tua dan lain sebagainya sehingga secara tidak langsung kita akan memunculkan karakter baru dalam diri peserta didik. Pada intinya, keberhasilan apersepsi akan ditentukan sejauh mana kreativitas Guru dalam menarik fokus peserta didik sehingga akan memuluskan proses pembelajaran sampai dengan penutupan dan materi ajar dapat tersampaikan kepada peserta didik dengan baik dan Guru akan merasakan keberhasilan kelas di akhir pembelajaran.

Penulis : Drs.Mulyanta, M.Kom.

Sumber :

  1. https://kumparan.com/ervan-jaya/apersepsi-part-i/3
  2. https://poskita.co/2020/09/13/menciptakan-pembelajaran-daring-yang-menyenangkan
  3. https://sokrates.id/2019/07/16/pentingnya-apersepsi-pada-pembelajaran/
  4. Munif chatib, Gurunya manusia.Kaifa Learning. Bandung. 2011