-
Telp Kantor
0274 517327 -
Surat Elektronik
[email protected] -
Alamat Kantor
Jl. Kenari No.2, Semaki
Telp Kantor
0274 517327Surat Elektronik
[email protected]Alamat Kantor
Jl. Kenari No.2, SemakiApa itu 4C ?
4C Keterampilan Abad 21 merupakan keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki peserta didik agar dapat survive di era Revolusi Industri 4.0 sekarang ini, dan berhasil masa mendatang. Keterampilan 4C ini terdiri dari; Creativity Thinking and innovation, Critical Thinking and Problem Solving, Communication, dan Collaboration. Creativity (kreativitas) merupakan kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda. Kemampuan ini berkenaan dengan kemampuan seseorang dalam menciptakan penggabungan baru. Berpikir kritis (critical thinking) merupakan kemampuan untuk memahami sebuah masalah yang rumit. Kemudian, mengkoneksikan informasi satu dengan informasi lain, sehingga akan muncul berbagai perspektif. Dan selanjutnya dapat menemukan solusi dari suatu permasalahan.
Keterampilan memecahkan masalah atau Problem Solving mencakup keterampilan lain seperti identifikasi dan kemampuan untuk mencari, memilih, mengevaluasi, mengorganisir, dan mempertimbangkan berbagai alternatif dan menafsirkan informasi. Kemampuan komunikasi mencakup keterampilan dalam menyampaikan pemikiran dengan jelas dan persuasif secara oral maupun tertulis, kemampuan menyampaikan opini dengan kalimat yang jelas, menyampaikan perintah dengan jelas, dan dapat memotivasi orang lain melalui kemampuan berbicara.
4C Keterampilan Abad 21 yang keempat adalah kolaborasi (collaboration). Kolaborasi dan kerjasama tim dapat di kembangkan melalui pengalaman yang ada di dalam sekolah, antar sekolah, dan di luar sekolah (P21, 2007a). Peserta didik dapat bekerja bersama-sama secara kolaboratif pada tugas berbasis proyek yang autentik dan mengembangkan keterampilannya melalui pembelajaran tutor sebaya dalam kelompok. Pada dunia kerja di masa depan, keterampilan berkolaborasi juga harus diterapkan ketika menghadapi rekan kerja yang berada pada lokasi yang saling berjauhan.
Pada umumnya orang tua dan guru kurang memberikan kepercayaan penuh kepada anak-anak untuk memecahkan masalah. Kebanyakan orang tua begitu cepat memberikan bantuan kepada anak dalam menyelesaikan sesuatu, padahal bantuan itu belum betul-betul dibutuhkan. Demikian pula begitu sering orang tua maupun guru membuatkan suatu keputusan bagi anak-anak, padahal bilamana mereka diberikan kesempatan dan dorongan yang lebih besar, sangat dimungkinkan mereka mampu memandang suatu masalah dari segala sisi dan memecahkan masalah yang rumit sekalipun yang sesungguhnya sangat berguna bagi kelangsungan dan kualitas hidup mereka.
Hal sangat penting yang harus diketahui para pendidik adalah kemampuan memecahkan masalah merupakan bagian yang menyatu dengan proses pertumbuhan. Pertumbuhan intelektual dan emosional anak didorong oleh proses pemecahan masalah. Seperti keterampilan EQ (Emotional Quotient) yang lainnya, kemampuan anak untuk memecahkan masalah umumnya sejalan dengan peningkatan usia.
Dalam sebuah buku yang berjudul Children Solving Problem karangan Stephanie Thornton (Shapiro, 1997:141) mengutip sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak jauh lebih ahli dalam memecahkan masalah jauh dari yang diduga oleh kebanyakan orang. la menyimpulkan bahwa pemecahan masalah yang berhasil tidak begitu tergantung kepada kecerdasan si anak, akan tetapi lebih kepada pengalaman mereka.
Anak-anak sanggup memecahkan masalah yang lumayan rumit bila mereka terbiasa dibimbing menggunakan istilah-istilah yang akrab dan konkret bagi mereka, walaupun seringkali juga gagal menjawab soal yang sama jika soal itu disajikan dalam bentuk abstrak yang tidak jelas. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, anak anak harus sesering mungkin diajak untuk memecahkan masalah yang sesuai dengan tingkat usia dan pengalaman yang mereka dapat. Bilamana anak dibiasakan memecahkan masalah, maka berarti guru atau orang tua telah membangun gudang pengalaman yang kelak dapat mereka gunakan untuk memecahkan masalah-masalah berikutnya.
Dalam sebuah buku yang berjudul Becoming A Teacher, Parkey (1997) mengemukakan bahwa untuk menghadapi tantangan masa depan, siswa akan membutuhkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai di sembilan area kunci yaitu: (a) kemampuan berbahasa, matematika dan sains, (b) keterampilan teknologi baru, (c) kemampuan pemecahan masalah, pikiran kritis dan kreativitas, (d) kesadaran sosial, keterampilan berkomunikasi dan membangun sinergitas kelompok, (e) kesadaran global dan keterampilan konservasi, (f) pendidikan kesehatan dan kesejahteraan, (g) orientasi moral dan etika, (h) kesadaran estetika, (i) pendidikan seumur hidup untuk kemandirian belajar.
4 Pilar Pendidikan Menurut UNESCO
Komisi Pendidikan untuk Abad XXI (UNESCO 1996:85) melihat bahwa hakikat pendidikan sesungguhnya adalah belajar (learning). Selanjutnya dikemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu; (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, learning to live with others, dan (4) learning to be.
Learning to know adalah upaya memahami instrumen-instrumen pengetahuan baik sebagai alat maupun sebagai tujuan. Sebagai alat, pengetahuan tersebut diharapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang diperlukan. Sebagai tujuan, maka pengetahuan tersebut akan bermanfaat dalam rangka peningkatan pemahaman, pengetahuan serta penemuan di dalam kehidupannya. Upaya-upaya ke arah pemerolehan pengetahuan ini tidak akan pernah ada batasnya, dan masing-masing individu akan secara terus menerus memperkaya pengetahuan dirinya dengan berbagai pengalaman yang ditemukan dalam kehidupannya. Upaya-upaya ini akan berlangsung secara terus menerus yang pada gilirannya melahirkan kembali konsep belajar sepanjang hayat.
Learning to do lebih ditekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk mempraktikkan segala sesuatu yang dipelajarinya dan dapat mengadaptasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan di masa depan. Memperhatikan secara cermat kemajuan-kemajuan serta perubahan-perubahan yang terjadi, maka pendidikan tidak cukup hanya dipandang sebagai transmisi atau melaksanakan tugas-tugas rutin, akan tetapi harus mengarah pada pemberian kemampuan untuk berbuat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dinamis masa mendatang, karena lapangan kerja masa mendatang akan sangat tergantung pada kemampuan untuk mengubah kemajuan dalam pengetahuan yang melahirkan usaha atau pekerjaan-pekerjaan baru. Hal ini akan menjadi tonggak penting untuk membentuk kemampuan, kemauan serta kesadaran atas berkembangnya ekonomi baru yang berbasis pengetahuan. Sebagaimana juga pada pilar pertama, maka belajar menerapkan sesuatu yang telah diketahui juga harus dilakukan secara terus menerus, karena proses perubahan juga akan berjalan tanpa hentinya. Dengan keinginan yang kuat untuk belajar melakukan sesuatu, maka setiap orang akan terlepas dari tindakan-tindakan yang tidak memiliki nilai-nilai positif bagi kehidupannya, dan hal ini memiliki arti sangat penting dalam memelihara proses dan lingkungan kehidupan yang memberikan ketentraman bagi diri orang lain.
Learning to live together, learning to live with others, pada dasarnya adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya perselisihan dan konflik. Persaingan dalam misi ini harus dipandang sebagai upaya-upaya yang sehat untuk mencapai keberhasilan, bukan sebaliknya bahwa persaingan justru mengalahkan nilai-nilai kebersamaan bahkan penghancuran orang lain atau pihak lain untuk kepentingan sendiri. Dengan demikian diharapkan kedamaian dan keharmonisan hidup benar-benar dapat diwujudkan.
Dalam proses pembelajaran, pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan guru dan sesama siswa yang dilandasi sikap saling menghargai, harus secara terus menerus dikembangkan di dalam setiap event pembelajaran. Kebiasaan-kebiasaan untuk bersedia mendengar dan menghargai pendapat rekan rekan sesama siswa seringkali kurang mendapat perhatian oleh guru, karena dianggap sebagai hal rutin yang berlangsung saja pada kegiatan sehari-hari. Padahal kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan baik begitu saja, akan tetapi membutuhkan latihan-latihan yang terbimbing dari guru. Kebiasaan-kebiasaan saling menghargai yang dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan dilakukan secara terus menerus akan menjadi bekal bagi siswa untuk dapat dikembangkan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
Learning to be, sebagaimana diungkapkan secara tegas oleh komisi pendidikan, bahwa prinsip fundamental pendidikan hendaklah mampu memberikan kontribusi untuk perkembangan seutuhnya setiap orang, jiwa dan raga, intelegensi, kepekaan, rasa etika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual. Semua manusia hendaklah diberdayakan untuk berpikir mandiri dan kritis serta mampu membuat keputusan sendiri dalam rangka menentukan sesuatu yang diyakini yang harus dilaksanakan (Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad XXI 1996: 94). Kekhawatiran yang mendalam terhadap terjadinya "dehumanisasi" sebagai akibat terjadinya perubahan, merupakan salah satu pertimbangan mendasar untuk pentingnya penekanan kembali belajar untuk menjadi diri sendiri ini. Oleh sebab itu, melalui kegiatan pembelajaran, setiap siswa harus terus didorong agar mampu memberdayakan dirinya melalui latihan-latihan pemecahan masalah-masalahnya sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawab sendiri. Dalam keadaan ini pendidikan dan pembelajaran hendaknya dapat memberikan kekuatan, membekali strategi dan cara agar siswa mampu memahami dunia sekitarnya serta mampu mengembangkan talenta yang dimilikinya untuk dapat hidup secara layak di tengah-tengah berbagai dinamika dan gejolak kehidupan masyarakat.
Kolaborasi lintas sektor
Terlepas dari tantangan yang dihadapi, kita juga memiliki kemungkinan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menerapkan beragam pola pikir dalam menyelesaikan tantangan. Revolusi Industri Keempat memberi kita kesempatan untuk belajar dan mengajarkan keterampilan baru, membangun pekerjaan baru yang membutuhkan kombinasi keterampilan unik (yang belum ada saat ini), menggali bakat yang belum diketahui. Dalam prosesnya, 4IR (4th Industrial Revolution) juga memberi kesempatan untuk mengembangkan bisnis serta menciptakan generasi pekerja baru yang terampil di bidang yang lebih beragam. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya agar kita bisa sampai di sana?
Kolaborasi di antara sektor swasta, akademisi, dan pembuat kebijakan akan sangat penting untuk menavigasi masa depan kerja. Sekolah harus bekerja sama dengan sektor bisnis dan sektor publik untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai permintaan, relevan, mudah beradaptasi, dan fokus pada keterampilan mengajar. Sementara, pemerintah perlu menggunakan teknologi canggih untuk menghasilkan wawasan real-time dan prediktif di pasar tenaga kerja. Dengan demikian pemerintah mampu mengembangkan kebijakan, program dan anggaran yang sehat. Di sisi lain, perusahaan perlu merekrut kompetensi melebihi kredensial dan yang terpenting adalah memimpin dalam mendukung peningkatan keterampilan kerja serta pembelajaran seumur hidup yang sudah ada saat ini. Kolaborasi tersebut dapat menyiapkan masyarakat menghadapi transisi berikutnya serta menciptakan masa depan kerja yang sejahtera bagi semua orang.
Daftar Pustaka
Sumber Buku :
2019. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Savitri, A. 2019. Revolusi Industri 4.0; Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0. Yogyakarta:Genesis
Sumber artikel internet :
https://hermananis.com/4c-keterampilan-abad-21-yang-harus-dimiliki-peserta-didik diakses tanggal 15 Juni 2022